Selasa, 17 Januari 2012

FERTILISASI



A.    FERTILISASI
Pembuahan atau fertilisasi adalah proses peleburan antara satu sel sperma dan satu sel ovum yang sudah matang. Proses pembuahan ini terjadi di bagian saluran Fallopii yang paling lebar. Sebelum terjadi poses pembuahan, terjadi beberapa proses sebagai berikut.
Ovum yang telah masuk akan keluar dari ovarium. Proses tersebut dinamakan ovulasi. Ovum yang telah masak tersebutakan masuk ke saluran Fallopii. Jutaan sperma harus berjalan dari vagina menuju uterus dan masuk ke saluran Fallopii. Dalam perjalanan itu, kebanyakan sperma dihancurkan oleh mukus (lendir) asa di dalam uterus dan saluran Fallopii. Di antara beberapa sel sperma yang bertahan hidup, hanya satu yang masuk menembus membran ovum. Setelah terjadi pembuahan, membran ovum segera mengeras untuk mencegah sel sperma lain masuk.
Hasil pembuahan adalah zigot. Kemudian mengalami pertumbuhan dan perkembangan sebagai berikut:
  1. Zigot membelah menjadi 2 sel, 4 sel, dan seterusnya.
  2. Dalam waktu bersamaan lapisan dinding dalam uterus menjadi tebal seperti spons, penuh dengan pembuluh darah, dan siap menerima zigot.
  3. Karena kontraksi oto dan gerak silia diding saluran Fallopii, zigot menuju ke uterus dan menempel di dinding uterus untuk tumbuh dan berkembang.
  4. Terbentuk plsenta dan tali pusat yang merupakan penghubung antara embrio dan jaringan ibunya. Fungsi plasenta dan tali pusat adalah mengalirkan oksigen dan zat-zat makanan dari ibu ke embrio, serta menglirkan sisa-sisa metabolisme dari embrio ke peredana darah ibunya.
  5. Embrio dikelilingi cairan amnion yang berfungsi melindungi embrio dari bahaya benturan yang mungkin terjadi.
  6. Embrio berusaha empat minggu sudah menunjukkan adanya pertumbuhan mata, tangan, dan kaki.
  7. Setelah berusia enam minggu, embrio sudah berukuran 1,5 cm. Otak, mata, telinga, dan jantung sudah berkembang. Tangan dan kaki, serta jari-jarinya mulai terbentuk.
  8. Setelah berusia delapan minggu, embrio sudah tampak sebagai manusia dengan organ-organ tubuh lengkap. Kaki, tangan, serta jari-jariny telah berkembang. Mulai tahap ini sampai lhir, embrio disebut fetus (janin).
  9. Setelah mencapai usia kehamilan kira-kira sembilan bulan sepuluh hari, bayi siap dilahirkan.
Jika ovum yang sudah masak tidak dibuahi oleh sperma, jaringan penyusun dinding rahim yang telah menebal dan mengandung banyak pembuluh darah akan rusak dan luruh/runtuh. Bersama-sama dengan ovum yang tidak dibuahi, jaringan tersebut dikeluarkan dari tubuh lewat vagina dalam proses yang disebut menstruasi (haid).

v  Fertilisasi pada hewan
1. Fertilisasi eksternal (khas pada hewan-hewan akuatik): gamet-gametnya dikeluarkan dari dalam tubuhnya sebelum fertilisasi.
2. Fertilisasi internal (khas untuk adaptasi dengan kehidupan di darat): sperma dimasukkan ke dalam daerah reproduksi betina yang kemudian disusul dengan fertilisasi. Setelah pembuahan, telur itu membentuk membran fertilisasi untuk merintangi pemasukan sperma lebih lanjut. Kadang-kadang sperma itu diperlukan hanya untuk mengaktivasi telur.
v  Fungsi dari fertilisasi yaitu :
1. mengabungkan dua sifat (amfixis)
2. determinasi sex (penentuan jenis kelamin )
Ø  Penentuan jenis kelamin ini dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu:
· determinasi sex berdasarkan kromosomnya yaitu dengan ammiosenreis dan analisis kromosom
· determinasi sex berdasarkan alat reproduksinya yaitu dengan USG/ URG
· sedangkan determinasi sex berdasarkan hormonal yaitu dengan test hormone pada usia 12/ 13 tahun
3. mempertahankan diploiditas ( 2n )
4. melanjutkan meiosis ovum
v  Tipe – tipe fertilisasi yaitu :
1.      fertilisasi eksternal
· berada pada lingkungan cair
· terjadi pseudokopulasi
· oposisi ovum dan ejakulasi emisi, yaitu terjadi peletakan ovum dan penyemprotan sperma
· jumlah sperma dan ovum banyak
2.      fertuilisasi internal
· kopulasi penis
· pseudokopulasi kloaka
· terjadi di oviduct dan uterus
· jumlah sperma banyak sedangkan jumlah ovum sedikit
B.     PENENTUAN JENIS KELAMIN
Jenis kelamin bagi sesuatu organisme dapat ditentukan melalui berbagai faktor genetik atau lingkungan. Walaupun kebanyakan spesies mempunyai kedua jenis kelamin itu, ada juga hewan hermafrodit yang mempunyai kedua organ pembiakan jantan serta betina.

Penentuan genetik

Kebanyakan mamalia, termasuk manusia, bisa ditentukan melalui sistem penentuan kelamin XY yang mengambarkan kromosom seks XY untuk jantan dan XX untuk betina. Sewaktu pembiakan, jantan dapat menyampaikan sperma X ataupun sperma Y, sedangkan betina hanya dapat menyampaikan telur X. Sperma Y dan telur X akan menghasilkan jantan, sedangkan sperma X dan telur X akan menghasilkan betina.
Dalam sistem penentuan jenis kelamin WZ, jantan yang mempunyai kromosom seks ZZ (berbanding betina yang mempunyai WZ) bisa didapati di burung serta sebagian serangga dan organisme yang lain. Anggota-anggota himenoptera, seperti semut dan lebah, merupakan spesies haplodiploid. Dalam spesies ini, kebanyakan jantannya haploid, sedangkan betina dan sebagian jantan yang mandul diploid.

Penentuan lingkungan

Dalam sebagian spesies reptilia, termasuk aligator, jenis kelamin ditentukan oleh suhu telurnya yang dieram. Spesies yang lain, umpamanya sebagian siput, menggunakan pergantian jenis kelamin: dewasanya bermula sebagai jantan, dan kemudiannya menjadi betina. Untuk ikan badut, sejenis ikan tropis, ikan yang dominan di dalam sesuatu kumpulan akan menjadi betina, sedangkan yang lain tetap menjadi jantan.
Pola pewarisan sifat yang diatur oleh gen-gen berangkai atau gen-gen yang terletak pada satu kromosom. Keberadaan gen berangkai pada suatu spesies organisme, yang meliputi urutan dan jaraknya satu sama lain, menghasilkan peta kromosom untuk spesies tersebut, misalnya peta kromosom pada lalat Drosophila melanogaster yang terdiri atas empat kelompok gen berangkai.
Salah satu dari keempat kelompok gen berangkai atau keempat pasang kromosom pada D. melanogaster tersebut, dalam hal ini kromosom nomor 1, disebut sebagai kromosom kelamin. Pemberian nama ini karena strukturnya pada individu jantan dan individu betina memperlihatkan perbedaan sehingga dapat digunakan untuk membedakan jenis kelamin individu. Ternyata banyak sekali spesies organisme lainnya, terutama hewan dan juga manusia, mempunyai kromosom kelamin.
Gen-gen yang terletak pada kromosom kelamin dinamakan gen rangkai kelamin (sex-linked genes) sementara fenomena yang melibatkan pewarisan gen-gen ini disebut peristiwa rangkai kelamin (linkage). Adapun gen berangkai yang dibicarakan adalah gen-gen yang terletak pada kromosom selain kromosom kelamin, yaitu kromosom yang pada individu jantan dan betina sama strukturnya sehingga tidak dapat digunakan untuk membedakan jenis kelamin. Kromosom semacam ini dinamakan autosom.
Seperti halnya gen berangkai (autosomal), gen-gen rangkai kelamin tidak mengalami segregasi dan penggabungan secara acak di dalam gamet-gamet yang terbentuk. Akibatnya, individu-individu yang dihasilkan melalui kombinasi gamet tersebut memperlihatkan nisbah fenotipe dan genotipe yang menyimpang dari hukum Mendel. Selain itu, jika pada percobaan Mendel perkawinan resiprok (genotipe tetua jantan dan betina dipertukarkan) menghasilkan keturunan yang sama, tidak demikian halnya untuk sifat-sifat yang diatur oleh gen rangkai kelamin.
Gen rangkai kelamin dapat dikelompok-kelompokkan berdasarkan atas macam kromosom kelamin tempatnya berada. Oleh karena kromosom kelamin pada umumnya dapat dibedakan menjadi kromosom X dan Y, maka gen rangkai kelamin dapat menjadi gen rangkai X (X-linked genes) dan gen rangkai Y (Y-linked genes). Di samping itu, ada pula beberapa gen yang terletak pada kromosom X tetapi memiliki pasangan pada kromosom Y. Gen semacam ini dinamakan gen rangkai kelamin tak sempurna (incompletely sex-linked genes). Pada bab ini akan dijelaskan cara pewarisan macam-macam gen rangkai kelamin tersebut serta beberapa sistem penentuan jenis kelamin pada berbagai spesies organisme.
Pewarisan Rangkai X
Percobaan yang pertama kali mengungkapkan adanya peristiwa rangkai kelamin dilakukan oleh T.H Morgan pada tahun 1910. Dia menyilangkan lalat D. melanogaster jantan bermata putih dengan betina bermata merah. Lalat bermata merah lazim dianggap sebagai lalat normal atau tipe alami (wild type), sedang gen pengatur tipe alami, misalnya pengatur warna mata merah ini, dapat dilambangkan dengan tanda +.  Biasanya, meskipun tidak selalu, gen tipe alami bersifat dominan terhadap alel mutannya.
Hasil persilangan Morgan tersebut, khususnya pada generasi F1, ternyata berbeda jika tetua jantan yang digunakan adalah tipe alami (bermata merah) dan tetua betinanya bermata putih. Dengan perkataan lain, perkawinan resiprok menghasilkan keturunan yang berbeda. Persilangan resiprok dengan hasil yang berbeda ini memberikan petunjuk bahwa pewarisan warna mata pada Drosophila ada hubungannya dengan jenis kelamin, dan ternyata kemudian memang diketahui bahwa gen yang mengatur warna mata pada Drosophila terletak pada kromosom kelamin, dalam hal ini kromosom X. Oleh karena itu, gen pengatur warna mata ini dikatakan sebagai gen rangkai X.
Secara skema pewarisan warna mata pada Drosophila dapat dilihat pada Kromosom X dan Y masimg-masing lazim dilambangkan dengan   tanda    dan   .
P :        +    +                    w                                 P :     w    w                   +
x                                                                        x
betina normal        jantan mata putih            betina mata putih      jantan normal

F1 :       +    w                    +                                  F1:    +    w                 w

betina normal      jantan normal                   betina normal     jantan mata putih
a)                                                                         b)
Diagram persilangan rangkai X pada Drosophila
Jika kita perhatikan akan nampak bahwa lalat F1 betina mempunyai mata seperti tetua jantannya, yaitu normal/merah. Sebaliknya, lalat F1 jantan warna matanya seperti tetua betinanya, yaitu putih. Pewarisan sifat semacam ini disebut sebagai criss cross inheritance.
Pada Drosophila, dan juga beberapa spesies organisme lainnya, individu betina membawa dua buah kromosom X, yang dengan sendirinya homolog, sehingga gamet-gamet yang dihasilkannya akan mempunyai susunan gen yang sama. Oleh karena itu, individu betina ini dikatakan bersifat homogametik. Sebaliknya, individu jantan yang hanya membawa sebuah kromosom X akan menghasilkan dua macam gamet yang berbeda, yaitu gamet yang membawa kromosom X dan gamet yang membawa kromosom Y. Individu jantan ini dikatakan bersifat heterogametik.
Rangkai X pada kucing
`Warna bulu pada kucing ditentukan oleh suatu gen rangkai X. Dalam keadaan heterozigot gen ini menyebabkan warna bulu yang dikenal dengan istilah tortoise shell. Oleh karena genotipe heterozigot untuk gen rangkai X hanya dapat dijumpai pada individu betina, maka kucing berbulu tortoise shell hanya terdapat pada jenis kelamin betina. Sementara itu, individu homozigot dominan (betina) dan hemizigot dominan (jantan) mempunyai bulu berwarna hitam. Individu homozigot resesif (betina) dan hemizigot resesif (jantan) akan berbulu kuning.
Istilah hemizigot digunakan untuk menyebutkan genotipe individu dengan sebuah kromosom X. Individu dengan gen dominan yang terdapat pada satu-satunya kromosom X dikatakan hemizigot dominan. Sebaliknya, jika gen tersebut resesif, individu yang memilikinya disebut hemizigot resesif.
Rangkai X pada manusia
Salah satu contoh gen rangkai X pada manusia adalah gen resesif yang menyebabkan penyakit hemofilia, yaitu gangguan dalam proses pembekuan darah. Sebenarnya, kasus hemofilia telah dijumpai sejak lama di negara-negara Arab ketika beberapa anak laki-laki meninggal akibat perdarahan hebat setelah dikhitan. Namun, waktu itu kematian akibat perdarahan ini hanya  dianggap sebagai takdir semata.
Hemofilia baru menjadi terkenal dan dipelajari pola pewarisannya setelah beberapa anggota keluarga Kerajaan Inggris mengalaminya. Awalnya, salah seorang di antara putra Ratu Victoria menderita hemofilia sementara dua di antara putrinya karier atau heterozigot. Dari kedua putri yang heterozigot ini lahir tiga cucu laki-laki yang menderita hemofilia dan empat cucu wanita yang heterozigot. Melalui dua dari keempat cucu yang heterozigot inilah penyakit hemofilia tersebar di kalangan keluarga Kerajaan Rusia dan Spanyol. Sementara itu, anggota keluarga Kerajaan Inggris saat ini yang merupakan keturunan putra/putri normal Ratu Victoria bebas dari penyakit hemofilia.
Rangkai Z pada ayam
Pada dasarnya pola pewarisan sifat rangkai Z sama dengan pewarisan sifat rangkai X. Hanya saja, kalau pada rangkai X individu homogametik berjenis kelamin pria/jantan sementara individu heterogametik berjenis kelamin wanita/betina, pada rangkai Z justru terjadi sebaliknya. Individu homogametik (ZZ) adalah jantan, sedang individu heterogametik (ZW) adalah betina.
Contoh gen rangkai Z yang lazim dikemukakan adalah gen resesif br yang menyebabkan pemerataan pigmentasi bulu secara normal pada ayam. Alelnya, Br, menyebabkan bulu ayam menjadi burik. Jadi, pada kasus ini alel resesif justru dianggap sebagai tipe alami atau normal (dilambangkan dengan +), sedang alel dominannya merupakan alel mutan.
Pewarisan Rangkai Y
Pada umumnya kromosom Y hanya sedikit sekali mengandung gen yang aktif. Jumlah yang sangat sedikit ini mungkin disebabkan oleh sulitnya menemukan alel mutan bagi gen rangkai Y yang dapat menghasilkan fenotipe abnormal. Biasanya suatu gen/alel dapat dideteksi keberadaannya apabila fenotipe yang dihasilkannya adalah abnormal. Oleh karena fenotipe abnormal yang disebabkan oleh gen rangkai Y jumlahnya sangat sedikit, maka gen rangkai Y diduga merupakan gen yang sangat stabil.
Gen rangkai Y jelas tidak mungkin diekspresikan pada individu betina/wanita sehingga gen ini disebut juga gen holandrik. Contoh gen holandrik pada manusia adalah Hg dengan alelnya hg yang menyebabkan bulu kasar dan panjang, Ht dengan alelnya ht yang menyebabkan pertumbuhan bulu panjang di sekitar telinga, dan Wt dengan alelnya wt yang menyebabkan abnormalitas kulit pada jari.
Pewarisan Rangkai Kelamin Tak Sempurna
Meskipun dari uraian di atas secara tersirat dapat ditafsirkan bahwa kromosom X tidak homolog dengan kromosom Y, ternyata ada bagian atau segmen tertentu pada kedua kromosom tersebut yang homolog satu sama lain. Dengan perkataan lain, ada beberapa gen pada kromosom X yang mempunyai alel pada kromosom Y. Pewarisan sifat yang diatur oleh gen semacam ini dapat dikatakan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, dan berlangsung seperti halnya pewarisan gen autosomal. Oleh karena itu, gen-gen pada segmen kromosom X dan Y yang homolog ini disebut juga gen rangkai kelamin tak sempurna.
Pada D. melanogaster terdapat gen rangkai kelamin tak sempurna yang menyebabkan pertumbuhan bulu pendek. Pewarisan gen yang bersifat resesif ini dapat dilihat pada Gambar 6.2.
P :                                                                   P :
+    +          x         b    b                                      b    b          x        +    +
betina normal        jantan bulu pendek         betina bulu pendek    jantan normal

F1 :                                                                    F1:
+    b                     +    b                                     +    b                  +    b
betina normal      jantan normal                      betina normal      jantan normal
a)                                                                         b)
Diagram pewarisan gen rangkai kelamin tak sempurna
Dapat dilihat bahwa perkawinan resiprok untuk gen rangkai kelamin tak sempurna akan memberikan hasil yang sama seperti halnya hasil yang diperoleh dari perkawinan resiprok untuk gen-gen autosomal. Jadi, pewarisan gen rangkai kelamin tak sempurna mempunyai pola seperti pewarisan gen autosomal.
Sistem Penentuan Jenis Kelamin
Telah disebutkan di atas bahwa pada manusia dan mamalia, dalam hal ini kucing, individu pria/jantan adalah heterogametik (XY) sementara wanita/betina adalah homogametik (XX). Sebaliknya, pada ayam individu jantan justru homogametik (ZZ) sementara individu betinanya heterogametik (ZW). Penentuan jenis kelamin pada manusia/mamalia dikatakan mengikuti sistem XY, sedang pada ayam, dan unggas lainnya serta ikan tertentu, mengikuti sistem ZW.
Selain kedua sistem tersebut, masih banyak sistem penentuan jenis kelamin lainnya. Berikut ini akan dijelaskan beberapa di antaranya.

Sistem XO
Sistem XO dijumpai pada beberapa jenis serangga, misalnya belalang. Di dalam sel somatisnya, individu betina memiliki dua buah kromosom X sementara individu jantan hanya mempunyai sebuah kromosom X. Jadi, hal ini mirip dengan sistem XY. Bedanya, pada sistem XO individu jantan tidak mempunyai kromosom Y. Dengan demikian, jumlah kromosom sel somatis individu betina lebih banyak daripada jumlah pada individu jantan. Sebagai contoh, E.B. Wilson menemukan bahwa sel somatis serangga Protenor betina mempunyai 14 kromosom, sedang pada individu jantannya hanya ada 13 kromosom.
Sistem nisbah X/A
C.B. Bridge melakukan serangkaian penelitian mengenai  jenis kelamin pada lalat Drosophila. Dia berhasil menyimpulkan bahwa sistem penentuan jenis kelamin pada organisme tersebut berkaitan dengan nisbah banyaknya kromosom X terhadap banyaknya autosom, dan tidak ada hubungannya dengan kromosom Y. Dalam hal ini kromosom Y hanya berperan mengatur fertilitas jantan. Secara ringkas penentuan jenis kelamin dengan sistem X/A pada lalat Drosophila dapat dilihat pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Penentuan jenis kelamin pada lalat Drosophila
Σ kromosom X
Σ autosom
nibah X/A
jenis kelamin
1
2
0,5
jantan
2
2
1
betina
3
2
1,5
metabetina
4
3
1,33
metabetina
4
4
1
betina 4n
3
3
1
betina 3n
3
4
0,75
interseks
2
3
0,67
interseks
2
4
0,5
jantan
1
3
0,33
metajantan
Jika kita perhatikan kolom pertama pada Tabel 6.1 akan terlihat bahwa ada beberapa individu yang jumlah kromosom X-nya lebih dari dua buah, yakni individu dengan jenis kelamin metabetina, betina triploid dan tetraploid, serta interseks. Adanya kromosom X yang didapatkan melebihi jumlah kromosom X pada individu normal (diploid) ini disebabkan oleh terjadinya peristiwa yang dinamakan gagal pisah (non disjunction), yaitu gagal berpisahnya kedua kromosom X pada waktu pembelahan meiosis.
Pada Drosophila terjadinya gagal pisah dapat menyebabkan terbentuknya beberapa individu abnormal seperti nampak pada Gambar 6.3.
P :            E AAXX          x         AAXY G
gagal pisah
gamet :    AXX      AO            AX       AY
F1 :           AAXXX              AAXXY          AAXO                AAOY
               betina super             betina           jantan steril               letal
Diagram munculnya beberapa individu abnormal pada
Drosophila akibat peristiwa gagal pisah
Di samping kelainan-kelainan tersebut pernah pula dilaporkan adanya lalat Drosophila yang sebagian tubuhnya memperlihatkan sifat-sifat sebagai jenis kelamin jantan sementara sebagian lainnya betina. Lalat ini dikatakan mengalami mozaik seksual atau biasa disebut dengan istilah ginandromorfi. Penyebabnya adalah ketidakteraturan distribusi kromosom X pada masa-masa awal pembelahan mitosis zigot. Dalam hal ini ada sel yang menerima dua kromosom X tetapi ada pula yang hanya menerima satu kromosom X.
Partenogenesis
Pada beberapa spesies Hymenoptera seperti semut, lebah, dan tawon, individu jantan berkembang dengan cara partenogenesis, yaitu melalui telur yang tidak dibuahi. Oleh karena itu, individu jantan ini hanya memiliki sebuah genom atau perangkat kromosomnya haploid.
Sementara itu, individu betina dan golongan pekerja, khususnya pada lebah, berkembang dari telur yang dibuahi sehingga perangkat kromosomnya adalah diploid. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partenogenesis merupakan sistem penentuan jenis kelamin yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kromosom kelamin tetapi hanya bergantung kepada jumlah genom (perangkat kromosom).
Sistem gen Sk-Ts
Di atas disebutkan bahwa sistem penentuan jenis kelamin pada lebah tidak berhubungan dengan kromosom kelamin. Meskipun demikian, sistem tersebut masih ada kaitannya dengan jumlah perangkat kromosom.
Pada jagung dikenal sistem penentuan jenis kelamin yang tidak bergantung, baik kepada kromosom kelamin maupun jumlah genom, tetapi didasarkan atas keberadaan gen tertentu. Jagung normal monosius (berumah satu) mempunyai gen Sk, yang mengatur pembentukan bunga betina, dan gen Ts, yang mengatur pembentukan bunga jantan.  Jagung monosius ini mempunyai fenotipe Sk_Ts_.
Sementara itu, alel-alel resesif sk dan ts masing-masing menghalangi pembentukan bunga betina dan mensterilkan bunga jantan. Oleh karena itu, jagung dengan fenotipe Sk_tsts adalah betina diosius (berumah dua), sedang jagung skskTs_ adalah jantan diosius. Jagung sksktsts berjenis kelamin betina karena ts dapat mengatasi pengaruh sk, atau dengan perkataan lain, bunga betina tetap terbentuk seakan-akan tidak ada alel sk.
Pengaruh lingkungan
Sistem penentuan jenis kelamin bahkan ada pula yang bersifat nongenetik. Hal ini misalnya dijumpai pada cacing laut Bonellia, yang jenis kelaminnya semata-mata ditentukan oleh faktor lingkungan.. F. Baltzer menemukan bahwa cacing Bonellia yang berasal dari sebuah telur yang diisolasi akan berkembang menjadi individu betina. Sebaliknya, cacing yang hidup di lingkungan betina dewasa akan mendekati dan memasuki saluran reproduksi cacing betina dewasa tersebut untuk kemudian berkembang menjadi individu jantan yang parasitik.
Kromatin Kelamin
Seorang ahli genetika dari Kanada, M.L. Barr, pada tahun 1949 menemukan adanya struktur tertentu yang dapat memperlihatkan reaksi pewarnaan di dalam nukleus sel syaraf kucing betina. Struktur semacam ini ternyata tidak dijumpai pada sel-sel kucing jantan. Pada manusia dilaporkan pula bahwa sel-sel somatis pria, misalnya sel epitel selaput lendir mulut, dapat dibedakan dengan sel somatis wanita atas dasar ada tidaknya struktur tertentu yang kemudian dikenal dengan nama kromatin kelamin atau badan Barr.
Pada sel somatis wanita terdapat sebuah kromatin kelamin sementara sel somatis pria tidak memilikinya. Selanjutnya diketahui bahwa banyaknya kromatin kelamin ternyata sama dengan banyaknya kromosom X dikurangi satu. Jadi, wanita normal mempunyai sebuah kromatin kelamin karena kromosom X-nya ada dua. Demikian pula, pria normal tidak mempunyai kromatin kelamin karena kromosom X-nya hanya satu.
Dewasa ini keberadaan kromatin kelamin sering kali digunakan untuk menentukan jenis kelamin serta mendiagnosis berbagai kelainan kromosom kelamin pada janin melalui pengambilan cairan amnion embrio (amniosentesis). Pria dengan kelainan kromosom kelamin, misalnya penderita sindrom Klinefelter (XXY), mempunyai sebuah kromatin kelamin yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang pria normal. Sebaliknya, wanita penderita sindrom Turner (XO) tidak mempunyai kromatin kelamin yang seharusnya ada pada wanita normal.
Mary F. Lyon, seorang ahli genetika dari Inggris mengajukan hipotesis bahwa kromatin kelamin merupakan kromosom X yang mengalami kondensasi atau heterokromatinisasi sehingga secara genetik menjadi inaktif. Hipotesis ini dilandasi hasil pengamatannya atas ekspresi gen rangkai X yang mengatur warna bulu pada mencit. Individu betina heterozigot memperlihatkan fenotipe mozaik yang jelas berbeda dengan ekspresi gen semidominan (warna antara yang seragam). Hal ini menunjukkan bahwa hanya ada satu kromosom X yang aktif di antara kedua kromosom X pada individu betina. Kromosom X yang aktif pada suatu sel mungkin membawa gen dominan sementara pada sel yang lain mungkin justru membawa gen resesif.
Hipotesis Lyon juga menjelaskan adanya mekanisme kompensasi dosis pada mamalia. Mekanisme kompensasi dosis diusulkan karena adanya fenomena bahwa suatu gen rangkai X akan mempunyai dosis efektif yang sama pada kedua jenis kelamin. Dengan perkataan lain, gen rangkai X pada individu homozigot akan diekspesikan sama kuat dengan gen rangkai X pada individu hemizigot.
Hormon dan Diferensiasi Kelamin
Dari penjelasan mengenai berbagai sistem penentuan jenis kelamin organisme diketahui bahwa faktor genetis memegang peranan utama dalam ekspresi sifat kelamin primer. Selanjutnya, sistem hormon akan mengatur kondisi fisiologi dalam tubuh individu sehingga mempengaruhi perkembangan sifat kelamin sekunder.
Pada hewan tingkat tinggi dan manusia hormon kelamin disintesis oleh ovarium, testes, dan kelenjar adrenalin. Ovarium dan testes masing-masing mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai penghasil sel kelamin (gamet) dan sebagai penghasil hormon kelamin. Sementara itu, kelenjar adrenalin menghasilkan steroid yang secara kimia berhubungan erat dengan gonad.
Gen terpengaruh kelamin
Gen terpengaruh kelamin (sex influenced genes) ialah gen yang memperlihatkan perbedaan ekspresi antara individu jantan dan betina akibat pengaruh hormon kelamin. Sebagai contoh, gen autosomal H yang mengatur pembentukan tanduk pada domba akan bersifat dominan pada individu jantan tetapi resesif pada individu betina. Sebaliknya, alelnya h, bersifat dominan pada domba betina tetapi resesif pada domba jantan. Oleh karena itu, untuk dapat bertanduk domba betina harus mempunyai dua gen H (homozigot) sementara domba jantan cukup dengan satu gen H (heterozigot).
Tabel 6.2. Ekspresi gen terpengaruh kelamin pada domba
Genotipe
Domba jantan
Domba betina
HH
bertanduk
bertanduk
Hh
bertanduk
tidak bertanduk
hh
tidak bertanduk
tidak bertanduk
Contoh lain gen terpengaruh kelamin adalah gen autosomal B yang mengatur kebotakan pada manusia. Gen B dominan pada pria tetapi resesif pada wanita. Sebaliknya, gen b dominan pada wanita tetapi resesif pada pria. Akibatnya, pria heterozigot akan mengalami kebotakan, sedang wanita heterozigot akan normal. Untuk dapat mengalami kebotakan seorang wanita harus mempunyai gen B dalam keadaan homozigot.
Gen terbatasi kelamin
Selain mempengaruhi perbedaan ekspresi gen di antara jenis kelamin, hormon kelamin juga dapat membatasi ekspresi gen pada salah satu jenis kelamin. Gen yang hanya dapat diekspresikan pada salah satu jenis kelamin dinamakan gen terbatasi kelamin (sex limited genes). Contoh gen semacam ini adalah gen yang mengatur produksi susu pada sapi perah, yang dengan sendirinya hanya dapat diekspresikan pada individu betina. Namun, individu jantan dengan genotipe tertentu sebenarnya juga mempunyai potensi untuk menghasilkan keturunan dengan produksi susu yang tinggi sehingga keberadaannya sangat diperlukan dalam upaya pemuliaan ternak tersebut.



v  Tipe penentuan jenis kelamin Pada Manusia
Inti sel tubuh manusia mengandung 46 buah kromosom, 44 autosom dan 2 kromosom kelamin.
Formula kromosom :
Betina = 22 autosom + XX
Jantan = 22 autosom + XY
·         Peranan kromosom X dan Y pada manusia
Kromosom X membawa gen-gen yang menentukan sifat perempuan
Kromosom Y membawa gen-gen yang menentukan sifat laki-laki
·         Perbedaan kromosom pada manusia dengan Drosophila melanogaster
      Pada Drosophila melanogaster kromosom Y tidak mempengaruhi penentuan jenis kelamin jantan.  Pada manusia berapapun banyaknya kromosom X asalkan mempunyai kromosom Y maka orang tersebut adalah laki-laki.

·         Kelainan kromosom pada manusia
  1. Kelainan pada kromosom kelamin
Contoh :
·         Sindrom Turner, dimana individunya perempuan, sedangkan formula kromosomnya adalah 22 autosom + XO dan orang ini mandul
    • Sindrom Klinefelter, dimana individunya laki-laki, sedangkan formula kromosomnya adalah 22 autosom + XXY dan orang ini mandul
    • Wanita super, dimana formula kromosonya adalah 22 autosom + XXX, dimana individu ini meninggal waktu masih kanak-kanak karena alat tubuh tidak berkembang sempurna
    • Pria XYY, dimana orang ini sangat agresif dan sering dijumpai di LP

  1. Kelainan pada autosom
Kelainan ini dimiliki oleh kedua jenis kelamin, dimana hal ini terjadi karena adanya non-disjunction
Contoh : Sindrom Down.  Sindrom ini terjadi karena adanya kelebihan kromosom pada autosom No. 21, dimana individunya memiliki 3 buah autosom No. 21
Apabila terjadi non-disjunction selama oogenesa (pembentukan sel telur) maka akan menjadi abnormal
a.       3 pasang autosom + XX + 3 pasang autosom + X akan menjadi wanita super dan hidupnya tidak lama (mati)
b.      3 pasang autosom + XX + 3 pasang autosom + Y akan menjadi wanita yang mempunyai kromosom Y (individu ini akan fertile, seperti lalat biasa)
c.       3 pasang autosom + 0 + 3 pasang autosom + X akan menjadi jantan yang steril
d.      3 pasang autosom + 0 + 3 pasang autosom + Y akan lethal, sehingga lalat Y0 tidak dikenal

Kesimpulan : dengan adanya non-disjunction, membuktikan bahwa kromosom Y pada lalat Drosophila melanogaster tidak mempunyai pengaruh pada penentuan jenis kelamin, karena :
a.       Lalat XXY adalah betina
b.      Lalat X0 adalah jantan

C.B Bridges menyatakan bahwa faktor penentu betina terdapat pada kromosom X.  sedangkan faktor penentu jantan terdapat pada autosom

 Peranan kromosom X dan Y pada  Drosophila melanogaster
Kromosom  X  : *   memiliki gen-gen yang menentukan sifat betina
*  membawa kehidupan, karena lalat yang memiliki kromosom X (lalat Y0) adalah lethal.
Kromosom Y : * Tidak mempunyai pengaruh pada penentuan jenis kelamin (jantan dipengaruhi oleh autosom)
*  Menentukan kesuburan (fertilitas) karena lalat yang tidak memiliki kromosom Y (X0) adalah mandul/steril.
·         Bentuk kromosom kelamin dibedakan atas :
-    Kromosom X berbentuk batang lurus, betina mempunyai 2 buah kromosom X
-    Kromosom Y berbentuk sedikit bengkok pada salah satu ujungnya.  Kromosom Y lebih pendek dari kromosom X.  Makhluk jantan memiliki 1 kromosom X dan 1 kromosom Y.

              Karena kromosom pada betina sejenis (XX) maka disebut homogametic, sedangkan pada jantan disebut heterogametic karena berbeda (XY). Dalam keadaan normal betina akan membentuk 1 macam sel telur yang bersifat haploid (3 pasang autosom + X), jantan akan membentuk 2 macam spermatozoa yang haploid (3 pasang autosom + X dan 3 pasang autosom + Y).
Apabila sel telur dibuahi oleh spermatozoa yang membawa kromosom X , maka akan menjadi betina yang diploid (3 pasang autosom + XX), sedangkan bila sel telur dibuahi oleh spermatozoa yang membawa kromosom Y, maka akan menjadi jantan yang diploid (3 pasang autosom + XY).
Terkadang pada waktu pembentukan sel kelamin (meiose) sepasang kromosom kelamin tidak memisahkan diri, melainkan tetap berkumpul disebut non disjunction.





















2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Sifat kimia dan fisik telur

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Telur adalah salah satu bahan makanan hewani yang dikonsumsi selain daging, ikan dan susu...