A.
FERTILISASI
Pembuahan atau fertilisasi adalah proses peleburan antara satu sel
sperma dan satu sel ovum yang sudah matang. Proses pembuahan ini terjadi di
bagian saluran Fallopii yang paling lebar. Sebelum terjadi poses pembuahan,
terjadi beberapa proses sebagai berikut.
Ovum yang telah masuk akan keluar dari ovarium. Proses tersebut dinamakan ovulasi. Ovum yang telah masak tersebutakan masuk ke saluran Fallopii. Jutaan sperma harus berjalan dari vagina menuju uterus dan masuk ke saluran Fallopii. Dalam perjalanan itu, kebanyakan sperma dihancurkan oleh mukus (lendir) asa di dalam uterus dan saluran Fallopii. Di antara beberapa sel sperma yang bertahan hidup, hanya satu yang masuk menembus membran ovum. Setelah terjadi pembuahan, membran ovum segera mengeras untuk mencegah sel sperma lain masuk.
Ovum yang telah masuk akan keluar dari ovarium. Proses tersebut dinamakan ovulasi. Ovum yang telah masak tersebutakan masuk ke saluran Fallopii. Jutaan sperma harus berjalan dari vagina menuju uterus dan masuk ke saluran Fallopii. Dalam perjalanan itu, kebanyakan sperma dihancurkan oleh mukus (lendir) asa di dalam uterus dan saluran Fallopii. Di antara beberapa sel sperma yang bertahan hidup, hanya satu yang masuk menembus membran ovum. Setelah terjadi pembuahan, membran ovum segera mengeras untuk mencegah sel sperma lain masuk.
Hasil pembuahan adalah zigot. Kemudian mengalami
pertumbuhan dan perkembangan sebagai berikut:
- Zigot membelah menjadi 2 sel, 4 sel, dan seterusnya.
- Dalam waktu bersamaan lapisan dinding dalam uterus
menjadi tebal seperti spons, penuh dengan pembuluh darah, dan siap
menerima zigot.
- Karena kontraksi oto dan gerak silia diding saluran
Fallopii, zigot menuju ke uterus dan menempel di dinding uterus untuk
tumbuh dan berkembang.
- Terbentuk plsenta dan tali pusat yang merupakan
penghubung antara embrio dan jaringan ibunya. Fungsi plasenta dan tali
pusat adalah mengalirkan oksigen dan zat-zat makanan dari ibu ke embrio,
serta menglirkan sisa-sisa metabolisme dari embrio ke peredana darah
ibunya.
- Embrio dikelilingi cairan amnion yang berfungsi
melindungi embrio dari bahaya benturan yang mungkin terjadi.
- Embrio berusaha empat minggu sudah menunjukkan
adanya pertumbuhan mata, tangan, dan kaki.
- Setelah berusia enam minggu, embrio sudah berukuran
1,5 cm. Otak, mata, telinga, dan jantung sudah berkembang. Tangan dan
kaki, serta jari-jarinya mulai terbentuk.
- Setelah berusia delapan minggu, embrio sudah tampak
sebagai manusia dengan organ-organ tubuh lengkap. Kaki, tangan, serta
jari-jariny telah berkembang. Mulai tahap ini sampai lhir, embrio disebut
fetus (janin).
- Setelah mencapai usia kehamilan kira-kira sembilan
bulan sepuluh hari, bayi siap dilahirkan.
Jika ovum yang sudah masak tidak
dibuahi oleh sperma, jaringan penyusun dinding rahim yang telah menebal dan
mengandung banyak pembuluh darah akan rusak dan luruh/runtuh. Bersama-sama
dengan ovum yang tidak dibuahi, jaringan tersebut dikeluarkan dari tubuh lewat
vagina dalam proses yang disebut menstruasi (haid).
v
Fertilisasi pada hewan
1. Fertilisasi eksternal (khas pada hewan-hewan akuatik): gamet-gametnya dikeluarkan dari dalam tubuhnya
sebelum fertilisasi.
2. Fertilisasi internal (khas untuk adaptasi dengan kehidupan di darat): sperma dimasukkan ke dalam daerah reproduksi betina yang kemudian disusul dengan fertilisasi. Setelah
pembuahan, telur itu membentuk membran fertilisasi untuk merintangi
pemasukan sperma lebih lanjut. Kadang-kadang sperma itu
diperlukan hanya untuk mengaktivasi telur.
v
Fungsi dari fertilisasi yaitu :
1.
mengabungkan
dua sifat (amfixis)
2.
determinasi
sex (penentuan jenis kelamin )
Ø Penentuan jenis kelamin ini dapat
dilakukan dengan berbagai cara yaitu:
· determinasi sex berdasarkan
kromosomnya yaitu dengan ammiosenreis dan analisis kromosom
· determinasi sex berdasarkan alat
reproduksinya yaitu dengan USG/ URG
· sedangkan determinasi sex
berdasarkan hormonal yaitu dengan test hormone pada usia 12/ 13 tahun
3.
mempertahankan
diploiditas ( 2n )
4.
melanjutkan
meiosis ovum
v
Tipe – tipe fertilisasi yaitu :
1. fertilisasi eksternal
· berada pada lingkungan cair
· terjadi pseudokopulasi
· oposisi ovum dan ejakulasi emisi,
yaitu terjadi peletakan ovum dan penyemprotan sperma
· jumlah sperma dan ovum banyak
2. fertuilisasi internal
· kopulasi penis
· pseudokopulasi kloaka
· terjadi di oviduct dan uterus
· jumlah sperma banyak sedangkan
jumlah ovum sedikit
B.
PENENTUAN JENIS KELAMIN
Jenis kelamin bagi sesuatu organisme dapat
ditentukan melalui berbagai faktor genetik atau lingkungan. Walaupun kebanyakan spesies mempunyai kedua
jenis kelamin itu, ada juga hewan hermafrodit yang mempunyai kedua organ pembiakan jantan serta
betina.
Penentuan genetik
Kebanyakan mamalia, termasuk manusia, bisa ditentukan melalui sistem penentuan kelamin XY yang mengambarkan kromosom seks XY untuk
jantan dan XX untuk betina. Sewaktu pembiakan, jantan dapat menyampaikan sperma X ataupun
sperma Y, sedangkan betina hanya dapat menyampaikan telur X. Sperma Y dan telur
X akan menghasilkan jantan, sedangkan sperma X dan telur X akan menghasilkan
betina.
Dalam sistem penentuan jenis kelamin WZ, jantan yang mempunyai kromosom seks ZZ (berbanding
betina yang mempunyai WZ) bisa didapati di burung serta sebagian serangga dan organisme yang lain. Anggota-anggota himenoptera, seperti semut dan lebah, merupakan spesies haplodiploid. Dalam
spesies ini, kebanyakan jantannya haploid, sedangkan betina dan sebagian jantan yang mandul diploid.
Penentuan lingkungan
Dalam sebagian spesies reptilia, termasuk aligator, jenis
kelamin ditentukan oleh suhu telurnya yang dieram. Spesies yang lain, umpamanya
sebagian siput, menggunakan pergantian jenis kelamin: dewasanya
bermula sebagai jantan, dan kemudiannya menjadi betina. Untuk ikan badut,
sejenis ikan tropis, ikan yang dominan di dalam sesuatu kumpulan akan menjadi
betina, sedangkan yang lain tetap menjadi jantan.
Pola pewarisan sifat yang diatur oleh gen-gen
berangkai atau gen-gen yang terletak pada satu kromosom. Keberadaan gen
berangkai pada suatu spesies organisme, yang meliputi urutan dan jaraknya satu
sama lain, menghasilkan peta kromosom untuk spesies tersebut, misalnya peta
kromosom pada lalat Drosophila melanogaster yang terdiri atas empat
kelompok gen berangkai.
Salah satu dari keempat kelompok gen berangkai
atau keempat pasang kromosom pada D. melanogaster tersebut, dalam hal
ini kromosom nomor 1, disebut sebagai kromosom kelamin.
Pemberian nama ini karena strukturnya pada individu jantan dan individu betina
memperlihatkan perbedaan sehingga dapat digunakan untuk membedakan jenis
kelamin individu. Ternyata banyak sekali spesies organisme lainnya, terutama
hewan dan juga manusia, mempunyai kromosom kelamin.
Gen-gen yang terletak pada kromosom kelamin
dinamakan gen rangkai kelamin (sex-linked genes) sementara
fenomena yang melibatkan pewarisan gen-gen ini disebut peristiwa rangkai
kelamin (linkage). Adapun gen berangkai yang
dibicarakan adalah gen-gen yang terletak pada kromosom selain kromosom kelamin,
yaitu kromosom yang pada individu jantan dan betina sama strukturnya sehingga
tidak dapat digunakan untuk membedakan jenis kelamin. Kromosom semacam ini
dinamakan autosom.
Seperti halnya gen berangkai (autosomal), gen-gen
rangkai kelamin tidak mengalami segregasi dan penggabungan secara acak di dalam
gamet-gamet yang terbentuk. Akibatnya, individu-individu yang dihasilkan
melalui kombinasi gamet tersebut memperlihatkan nisbah fenotipe dan genotipe
yang menyimpang dari hukum Mendel. Selain itu, jika pada percobaan Mendel
perkawinan resiprok (genotipe tetua jantan dan betina dipertukarkan)
menghasilkan keturunan yang sama, tidak demikian halnya untuk sifat-sifat yang
diatur oleh gen rangkai kelamin.
Gen rangkai kelamin dapat dikelompok-kelompokkan
berdasarkan atas macam kromosom kelamin tempatnya berada. Oleh karena kromosom
kelamin pada umumnya dapat dibedakan menjadi kromosom X dan Y, maka gen rangkai
kelamin dapat menjadi gen rangkai X (X-linked genes)
dan gen rangkai Y (Y-linked genes). Di samping
itu, ada pula beberapa gen yang terletak pada kromosom X tetapi memiliki
pasangan pada kromosom Y. Gen semacam ini dinamakan gen rangkai kelamin
tak sempurna (incompletely sex-linked genes). Pada bab
ini akan dijelaskan cara pewarisan macam-macam gen rangkai kelamin tersebut
serta beberapa sistem penentuan jenis kelamin pada berbagai spesies organisme.
Pewarisan Rangkai X
Percobaan yang pertama kali mengungkapkan adanya
peristiwa rangkai kelamin dilakukan oleh T.H Morgan pada tahun 1910. Dia
menyilangkan lalat D. melanogaster jantan bermata putih dengan betina
bermata merah. Lalat bermata merah lazim dianggap sebagai lalat normal atau
tipe alami (wild type), sedang gen pengatur tipe alami, misalnya
pengatur warna mata merah ini, dapat dilambangkan dengan tanda +.
Biasanya, meskipun tidak selalu, gen tipe alami bersifat dominan terhadap alel
mutannya.
Hasil persilangan Morgan tersebut, khususnya pada
generasi F1, ternyata berbeda jika tetua jantan yang digunakan
adalah tipe alami (bermata merah) dan tetua betinanya bermata putih. Dengan
perkataan lain, perkawinan resiprok menghasilkan keturunan yang berbeda.
Persilangan resiprok dengan hasil yang berbeda ini memberikan petunjuk bahwa
pewarisan warna mata pada Drosophila ada hubungannya dengan jenis
kelamin, dan ternyata kemudian memang diketahui bahwa gen yang mengatur warna
mata pada Drosophila terletak pada kromosom kelamin, dalam hal ini
kromosom X. Oleh karena itu, gen pengatur warna mata ini dikatakan sebagai gen
rangkai X.
Secara skema pewarisan warna mata pada Drosophila
dapat dilihat pada Kromosom X dan Y masimg-masing lazim dilambangkan
dengan tanda dan .
P : +
+
w
P : w
w
+
x
x
betina normal jantan mata
putih betina
mata putih jantan normal
F1 : +
w
+
F1: +
w
w
betina normal jantan normal
betina normal jantan mata putih
a)
b)
Diagram
persilangan rangkai X pada Drosophila
Jika kita perhatikan akan nampak bahwa lalat F1
betina mempunyai mata seperti tetua jantannya, yaitu normal/merah. Sebaliknya,
lalat F1 jantan warna matanya seperti tetua betinanya, yaitu putih.
Pewarisan sifat semacam ini disebut sebagai criss cross inheritance.
Pada Drosophila, dan juga beberapa
spesies organisme lainnya, individu betina membawa dua buah kromosom X, yang
dengan sendirinya homolog, sehingga gamet-gamet yang dihasilkannya akan
mempunyai susunan gen yang sama. Oleh karena itu, individu betina ini dikatakan
bersifat homogametik. Sebaliknya, individu jantan yang hanya
membawa sebuah kromosom X akan menghasilkan dua macam gamet yang berbeda, yaitu
gamet yang membawa kromosom X dan gamet yang membawa kromosom Y. Individu
jantan ini dikatakan bersifat heterogametik.
Rangkai X pada kucing
`Warna bulu pada kucing
ditentukan oleh suatu gen rangkai X. Dalam keadaan heterozigot gen ini
menyebabkan warna bulu yang dikenal dengan istilah tortoise shell.
Oleh karena genotipe heterozigot untuk gen rangkai X hanya dapat dijumpai pada
individu betina, maka kucing berbulu tortoise shell hanya terdapat
pada jenis kelamin betina. Sementara itu, individu homozigot dominan (betina)
dan hemizigot dominan (jantan) mempunyai bulu berwarna hitam. Individu
homozigot resesif (betina) dan hemizigot resesif (jantan) akan berbulu kuning.
Istilah hemizigot digunakan untuk menyebutkan
genotipe individu dengan sebuah kromosom X. Individu dengan gen dominan yang
terdapat pada satu-satunya kromosom X dikatakan hemizigot dominan. Sebaliknya,
jika gen tersebut resesif, individu yang memilikinya disebut hemizigot resesif.
Rangkai X pada manusia
Salah satu contoh gen rangkai X pada manusia
adalah gen resesif yang menyebabkan penyakit hemofilia, yaitu gangguan dalam
proses pembekuan darah. Sebenarnya, kasus hemofilia telah dijumpai sejak lama
di negara-negara Arab ketika beberapa anak laki-laki meninggal akibat
perdarahan hebat setelah dikhitan. Namun, waktu itu kematian akibat perdarahan
ini hanya dianggap sebagai takdir semata.
Hemofilia baru menjadi terkenal dan dipelajari
pola pewarisannya setelah beberapa anggota keluarga Kerajaan Inggris
mengalaminya. Awalnya, salah seorang di antara putra Ratu Victoria menderita
hemofilia sementara dua di antara putrinya karier atau heterozigot. Dari kedua
putri yang heterozigot ini lahir tiga cucu laki-laki yang menderita hemofilia
dan empat cucu wanita yang heterozigot. Melalui dua dari keempat cucu yang
heterozigot inilah penyakit hemofilia tersebar di kalangan keluarga Kerajaan
Rusia dan Spanyol. Sementara itu, anggota keluarga Kerajaan Inggris saat ini
yang merupakan keturunan putra/putri normal Ratu Victoria bebas dari penyakit
hemofilia.
Rangkai Z pada ayam
Pada dasarnya pola pewarisan sifat rangkai Z sama
dengan pewarisan sifat rangkai X. Hanya saja, kalau pada rangkai X individu
homogametik berjenis kelamin pria/jantan sementara individu heterogametik
berjenis kelamin wanita/betina, pada rangkai Z justru terjadi sebaliknya.
Individu homogametik (ZZ) adalah jantan, sedang individu heterogametik (ZW)
adalah betina.
Contoh gen rangkai Z yang lazim dikemukakan adalah
gen resesif br yang menyebabkan pemerataan pigmentasi bulu secara normal pada
ayam. Alelnya, Br, menyebabkan bulu ayam menjadi burik. Jadi, pada kasus ini
alel resesif justru dianggap sebagai tipe alami atau normal (dilambangkan
dengan +), sedang alel dominannya merupakan alel mutan.
Pewarisan Rangkai Y
Pada umumnya kromosom Y hanya sedikit sekali
mengandung gen yang aktif. Jumlah yang sangat sedikit ini mungkin disebabkan
oleh sulitnya menemukan alel mutan bagi gen rangkai Y yang dapat menghasilkan fenotipe
abnormal. Biasanya suatu gen/alel dapat dideteksi keberadaannya apabila
fenotipe yang dihasilkannya adalah abnormal. Oleh karena fenotipe abnormal yang
disebabkan oleh gen rangkai Y jumlahnya sangat sedikit, maka gen rangkai Y
diduga merupakan gen yang sangat stabil.
Gen rangkai Y jelas tidak mungkin diekspresikan
pada individu betina/wanita sehingga gen ini disebut juga gen holandrik.
Contoh gen holandrik pada manusia adalah Hg dengan alelnya hg yang menyebabkan
bulu kasar dan panjang, Ht dengan alelnya ht yang menyebabkan pertumbuhan bulu
panjang di sekitar telinga, dan Wt dengan alelnya wt yang menyebabkan
abnormalitas kulit pada jari.
Pewarisan Rangkai Kelamin Tak Sempurna
Meskipun dari uraian di atas secara tersirat dapat
ditafsirkan bahwa kromosom X tidak homolog dengan kromosom Y, ternyata ada
bagian atau segmen tertentu pada kedua kromosom tersebut yang homolog satu sama
lain. Dengan perkataan lain, ada beberapa gen pada kromosom X yang mempunyai
alel pada kromosom Y. Pewarisan sifat yang diatur oleh gen semacam ini dapat
dikatakan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, dan berlangsung seperti halnya
pewarisan gen autosomal. Oleh karena itu, gen-gen pada segmen kromosom X dan Y
yang homolog ini disebut juga gen rangkai kelamin tak sempurna.
Pada D. melanogaster terdapat gen rangkai
kelamin tak sempurna yang menyebabkan pertumbuhan bulu pendek. Pewarisan gen
yang bersifat resesif ini dapat dilihat pada Gambar 6.2.
P
:
P :
+ +
x b
b
b b
x + +
betina normal jantan bulu
pendek betina bulu
pendek jantan normal
F1 :
F1:
+
b
+
b
+
b
+ b
betina normal jantan
normal
betina normal jantan normal
a)
b)
Diagram pewarisan gen rangkai kelamin tak sempurna
Dapat dilihat bahwa perkawinan resiprok untuk gen
rangkai kelamin tak sempurna akan memberikan hasil yang sama seperti halnya
hasil yang diperoleh dari perkawinan resiprok untuk gen-gen autosomal. Jadi,
pewarisan gen rangkai kelamin tak sempurna mempunyai pola seperti pewarisan gen
autosomal.
Sistem
Penentuan Jenis Kelamin
Telah disebutkan di atas bahwa pada manusia dan mamalia,
dalam hal ini kucing, individu pria/jantan adalah heterogametik (XY) sementara
wanita/betina adalah homogametik (XX). Sebaliknya, pada ayam individu jantan
justru homogametik (ZZ) sementara individu betinanya heterogametik (ZW).
Penentuan jenis kelamin pada manusia/mamalia dikatakan mengikuti sistem XY,
sedang pada ayam, dan unggas lainnya serta ikan tertentu, mengikuti sistem ZW.
Selain kedua sistem tersebut, masih banyak sistem
penentuan jenis kelamin lainnya. Berikut ini akan dijelaskan beberapa di
antaranya.
Sistem XO
Sistem XO dijumpai pada beberapa jenis serangga,
misalnya belalang. Di dalam sel somatisnya, individu betina memiliki dua buah
kromosom X sementara individu jantan hanya mempunyai sebuah kromosom X. Jadi,
hal ini mirip dengan sistem XY. Bedanya, pada sistem XO individu jantan tidak
mempunyai kromosom Y. Dengan demikian, jumlah kromosom sel somatis individu
betina lebih banyak daripada jumlah pada individu jantan. Sebagai contoh, E.B.
Wilson menemukan bahwa sel somatis serangga Protenor betina mempunyai
14 kromosom, sedang pada individu jantannya hanya ada 13 kromosom.
Sistem nisbah X/A
C.B. Bridge melakukan serangkaian penelitian
mengenai jenis kelamin pada lalat Drosophila. Dia berhasil
menyimpulkan bahwa sistem penentuan jenis kelamin pada organisme tersebut
berkaitan dengan nisbah banyaknya kromosom X terhadap banyaknya autosom, dan
tidak ada hubungannya dengan kromosom Y. Dalam hal ini kromosom Y hanya
berperan mengatur fertilitas jantan. Secara ringkas penentuan jenis kelamin
dengan sistem X/A pada lalat Drosophila dapat dilihat pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Penentuan jenis kelamin pada lalat Drosophila
Σ kromosom X
|
Σ autosom
|
nibah X/A
|
jenis kelamin
|
1
|
2
|
0,5
|
jantan
|
2
|
2
|
1
|
betina
|
3
|
2
|
1,5
|
metabetina
|
4
|
3
|
1,33
|
metabetina
|
4
|
4
|
1
|
betina
4n
|
3
|
3
|
1
|
betina
3n
|
3
|
4
|
0,75
|
interseks
|
2
|
3
|
0,67
|
interseks
|
2
|
4
|
0,5
|
jantan
|
1
|
3
|
0,33
|
metajantan
|
Jika kita perhatikan kolom pertama pada Tabel 6.1
akan terlihat bahwa ada beberapa individu yang jumlah kromosom X-nya lebih dari
dua buah, yakni individu dengan jenis kelamin metabetina, betina triploid dan
tetraploid, serta interseks. Adanya kromosom X yang didapatkan melebihi jumlah
kromosom X pada individu normal (diploid) ini disebabkan oleh terjadinya
peristiwa yang dinamakan gagal pisah (non disjunction),
yaitu gagal berpisahnya kedua kromosom X pada waktu pembelahan meiosis.
Pada Drosophila terjadinya gagal pisah
dapat menyebabkan terbentuknya beberapa individu abnormal seperti nampak pada
Gambar 6.3.
P : E
AAXX
x AAXY G
gagal pisah
gamet : AXX
AO
AX AY
F1 :
AAXXX
AAXXY
AAXO
AAOY
betina
super
betina jantan
steril
letal
Diagram munculnya beberapa individu abnormal pada
Drosophila
akibat peristiwa gagal pisah
Di samping kelainan-kelainan tersebut pernah pula
dilaporkan adanya lalat Drosophila yang sebagian tubuhnya
memperlihatkan sifat-sifat sebagai jenis kelamin jantan sementara sebagian
lainnya betina. Lalat ini dikatakan mengalami mozaik seksual atau biasa disebut
dengan istilah ginandromorfi. Penyebabnya adalah
ketidakteraturan distribusi kromosom X pada masa-masa awal pembelahan mitosis
zigot. Dalam hal ini ada sel yang menerima dua kromosom X tetapi ada pula yang
hanya menerima satu kromosom X.
Partenogenesis
Pada beberapa spesies Hymenoptera seperti
semut, lebah, dan tawon, individu jantan berkembang dengan cara partenogenesis,
yaitu melalui telur yang tidak dibuahi. Oleh karena itu, individu jantan ini
hanya memiliki sebuah genom atau perangkat kromosomnya haploid.
Sementara itu, individu betina dan golongan
pekerja, khususnya pada lebah, berkembang dari telur yang dibuahi sehingga
perangkat kromosomnya adalah diploid. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
partenogenesis merupakan sistem penentuan jenis kelamin yang tidak ada sangkut
pautnya sama sekali dengan kromosom kelamin tetapi hanya bergantung kepada
jumlah genom (perangkat kromosom).
Sistem gen Sk-Ts
Di atas disebutkan bahwa sistem penentuan jenis
kelamin pada lebah tidak berhubungan dengan kromosom kelamin. Meskipun
demikian, sistem tersebut masih ada kaitannya dengan jumlah perangkat kromosom.
Pada jagung dikenal sistem penentuan jenis kelamin
yang tidak bergantung, baik kepada kromosom kelamin maupun jumlah genom, tetapi
didasarkan atas keberadaan gen tertentu. Jagung normal monosius (berumah satu)
mempunyai gen Sk, yang mengatur pembentukan bunga betina, dan gen Ts, yang
mengatur pembentukan bunga jantan. Jagung monosius ini mempunyai fenotipe
Sk_Ts_.
Sementara itu, alel-alel resesif sk dan ts
masing-masing menghalangi pembentukan bunga betina dan mensterilkan bunga
jantan. Oleh karena itu, jagung dengan fenotipe Sk_tsts adalah betina diosius
(berumah dua), sedang jagung skskTs_ adalah jantan diosius. Jagung sksktsts
berjenis kelamin betina karena ts dapat mengatasi pengaruh sk, atau dengan
perkataan lain, bunga betina tetap terbentuk seakan-akan tidak ada alel sk.
Pengaruh lingkungan
Sistem penentuan jenis kelamin bahkan ada pula
yang bersifat nongenetik. Hal ini misalnya dijumpai pada cacing laut Bonellia,
yang jenis kelaminnya semata-mata ditentukan oleh faktor lingkungan.. F.
Baltzer menemukan bahwa cacing Bonellia yang berasal dari sebuah telur yang
diisolasi akan berkembang menjadi individu betina. Sebaliknya, cacing yang
hidup di lingkungan betina dewasa akan mendekati dan memasuki saluran
reproduksi cacing betina dewasa tersebut untuk kemudian berkembang menjadi
individu jantan yang parasitik.
Kromatin Kelamin
Seorang ahli genetika dari Kanada, M.L. Barr, pada
tahun 1949 menemukan adanya struktur tertentu yang dapat memperlihatkan reaksi
pewarnaan di dalam nukleus sel syaraf kucing betina. Struktur semacam ini
ternyata tidak dijumpai pada sel-sel kucing jantan. Pada manusia dilaporkan
pula bahwa sel-sel somatis pria, misalnya sel epitel selaput lendir mulut,
dapat dibedakan dengan sel somatis wanita atas dasar ada tidaknya struktur
tertentu yang kemudian dikenal dengan nama kromatin kelamin
atau badan Barr.
Pada sel somatis wanita terdapat sebuah kromatin
kelamin sementara sel somatis pria tidak memilikinya. Selanjutnya diketahui
bahwa banyaknya kromatin kelamin ternyata sama dengan banyaknya kromosom X
dikurangi satu. Jadi, wanita normal mempunyai sebuah kromatin kelamin karena
kromosom X-nya ada dua. Demikian pula, pria normal tidak mempunyai kromatin
kelamin karena kromosom X-nya hanya satu.
Dewasa ini keberadaan kromatin kelamin sering kali
digunakan untuk menentukan jenis kelamin serta mendiagnosis berbagai kelainan
kromosom kelamin pada janin melalui pengambilan cairan amnion embrio (amniosentesis).
Pria dengan kelainan kromosom kelamin, misalnya penderita sindrom Klinefelter
(XXY), mempunyai sebuah kromatin kelamin yang seharusnya tidak dimiliki oleh
seorang pria normal. Sebaliknya, wanita penderita sindrom Turner (XO) tidak
mempunyai kromatin kelamin yang seharusnya ada pada wanita normal.
Mary F. Lyon, seorang ahli genetika dari Inggris
mengajukan hipotesis bahwa kromatin kelamin merupakan kromosom X yang mengalami
kondensasi atau heterokromatinisasi sehingga secara genetik menjadi inaktif.
Hipotesis ini dilandasi hasil pengamatannya atas ekspresi gen rangkai X yang
mengatur warna bulu pada mencit. Individu betina heterozigot memperlihatkan
fenotipe mozaik yang jelas berbeda dengan ekspresi gen semidominan (warna
antara yang seragam). Hal ini menunjukkan bahwa hanya ada satu kromosom X yang
aktif di antara kedua kromosom X pada individu betina. Kromosom X yang aktif
pada suatu sel mungkin membawa gen dominan sementara pada sel yang lain mungkin
justru membawa gen resesif.
Hipotesis Lyon juga menjelaskan adanya mekanisme kompensasi
dosis pada mamalia. Mekanisme kompensasi dosis diusulkan karena adanya
fenomena bahwa suatu gen rangkai X akan mempunyai dosis efektif yang sama pada
kedua jenis kelamin. Dengan perkataan lain, gen rangkai X pada individu
homozigot akan diekspesikan sama kuat dengan gen rangkai X pada individu
hemizigot.
Hormon dan Diferensiasi Kelamin
Dari penjelasan mengenai berbagai sistem penentuan
jenis kelamin organisme diketahui bahwa faktor genetis memegang peranan utama
dalam ekspresi sifat kelamin primer. Selanjutnya, sistem hormon akan mengatur
kondisi fisiologi dalam tubuh individu sehingga mempengaruhi perkembangan sifat
kelamin sekunder.
Pada hewan tingkat tinggi dan manusia hormon
kelamin disintesis oleh ovarium, testes, dan kelenjar adrenalin. Ovarium dan
testes masing-masing mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai penghasil sel
kelamin (gamet) dan sebagai penghasil hormon kelamin. Sementara itu, kelenjar
adrenalin menghasilkan steroid yang secara kimia berhubungan erat dengan gonad.
Gen terpengaruh kelamin
Gen terpengaruh kelamin (sex influenced genes)
ialah gen yang memperlihatkan perbedaan ekspresi antara individu jantan dan
betina akibat pengaruh hormon kelamin. Sebagai contoh, gen autosomal H yang
mengatur pembentukan tanduk pada domba akan bersifat dominan pada individu
jantan tetapi resesif pada individu betina. Sebaliknya, alelnya h, bersifat
dominan pada domba betina tetapi resesif pada domba jantan. Oleh karena itu,
untuk dapat bertanduk domba betina harus mempunyai dua gen H (homozigot)
sementara domba jantan cukup dengan satu gen H (heterozigot).
Tabel 6.2. Ekspresi gen terpengaruh kelamin pada domba
Genotipe
|
Domba
jantan
|
Domba
betina
|
HH
|
bertanduk
|
bertanduk
|
Hh
|
bertanduk
|
tidak
bertanduk
|
hh
|
tidak
bertanduk
|
tidak
bertanduk
|
Contoh lain gen terpengaruh kelamin adalah gen
autosomal B yang mengatur kebotakan pada manusia. Gen B dominan pada pria
tetapi resesif pada wanita. Sebaliknya, gen b dominan pada wanita tetapi
resesif pada pria. Akibatnya, pria heterozigot akan mengalami kebotakan, sedang
wanita heterozigot akan normal. Untuk dapat mengalami kebotakan seorang wanita
harus mempunyai gen B dalam keadaan homozigot.
Gen terbatasi kelamin
Selain mempengaruhi perbedaan ekspresi gen di
antara jenis kelamin, hormon kelamin juga dapat membatasi ekspresi gen pada
salah satu jenis kelamin. Gen yang hanya dapat diekspresikan pada salah satu
jenis kelamin dinamakan gen terbatasi kelamin (sex limited genes). Contoh
gen semacam ini adalah gen yang mengatur produksi susu pada sapi perah, yang
dengan sendirinya hanya dapat diekspresikan pada individu betina. Namun,
individu jantan dengan genotipe tertentu sebenarnya juga mempunyai potensi
untuk menghasilkan keturunan dengan produksi susu yang tinggi sehingga
keberadaannya sangat diperlukan dalam upaya pemuliaan ternak tersebut.
v Tipe
penentuan jenis kelamin Pada Manusia
Inti
sel tubuh manusia mengandung 46 buah kromosom, 44 autosom dan 2 kromosom kelamin.
Formula kromosom
:
Betina
= 22 autosom + XX
Jantan
= 22 autosom + XY
·
Peranan kromosom X dan
Y pada manusia
Kromosom
X membawa gen-gen yang menentukan sifat perempuan
Kromosom
Y membawa gen-gen yang menentukan sifat laki-laki
·
Perbedaan kromosom pada
manusia dengan Drosophila melanogaster
Pada
Drosophila melanogaster kromosom Y
tidak mempengaruhi penentuan jenis kelamin jantan. Pada manusia berapapun banyaknya kromosom X
asalkan mempunyai kromosom Y maka orang tersebut adalah laki-laki.
·
Kelainan kromosom pada
manusia
- Kelainan
pada kromosom kelamin
Contoh :
·
Sindrom Turner, dimana
individunya perempuan, sedangkan formula kromosomnya adalah 22 autosom + XO dan
orang ini mandul
- Sindrom Klinefelter, dimana
individunya laki-laki, sedangkan formula kromosomnya adalah 22 autosom +
XXY dan orang ini mandul
- Wanita super, dimana formula
kromosonya adalah 22 autosom + XXX, dimana individu ini meninggal waktu
masih kanak-kanak karena alat tubuh tidak berkembang sempurna
- Pria XYY, dimana orang ini sangat
agresif dan sering dijumpai di LP
- Kelainan
pada autosom
Kelainan ini dimiliki oleh kedua
jenis kelamin, dimana hal ini terjadi karena adanya non-disjunction
Contoh
: Sindrom Down. Sindrom ini terjadi
karena adanya kelebihan kromosom pada autosom No. 21, dimana individunya
memiliki 3 buah autosom No. 21
Apabila
terjadi non-disjunction selama oogenesa (pembentukan sel telur) maka akan
menjadi abnormal
a. 3
pasang autosom + XX + 3 pasang autosom + X akan menjadi wanita super dan
hidupnya tidak lama (mati)
b. 3
pasang autosom + XX + 3 pasang autosom + Y akan menjadi wanita yang mempunyai
kromosom Y (individu ini akan fertile, seperti lalat biasa)
c. 3
pasang autosom + 0 + 3 pasang autosom + X akan menjadi jantan yang steril
d. 3
pasang autosom + 0 + 3 pasang autosom + Y akan lethal, sehingga lalat Y0 tidak
dikenal
Kesimpulan
: dengan adanya non-disjunction, membuktikan bahwa kromosom Y pada lalat Drosophila
melanogaster tidak mempunyai pengaruh pada penentuan jenis kelamin, karena
:
a. Lalat
XXY adalah betina
b. Lalat
X0 adalah jantan
C.B Bridges menyatakan bahwa
faktor penentu betina terdapat pada kromosom X.
sedangkan faktor penentu jantan terdapat pada autosom
Peranan kromosom X dan Y pada Drosophila
melanogaster
Kromosom X :
* memiliki gen-gen yang menentukan
sifat betina
*
membawa kehidupan, karena lalat yang memiliki kromosom X (lalat Y0)
adalah lethal.
Kromosom Y : * Tidak mempunyai pengaruh
pada penentuan jenis kelamin (jantan dipengaruhi oleh autosom)
*
Menentukan kesuburan (fertilitas) karena lalat yang tidak memiliki
kromosom Y (X0) adalah mandul/steril.
·
Bentuk kromosom kelamin
dibedakan atas :
- Kromosom
X berbentuk batang lurus, betina mempunyai 2 buah kromosom X
- Kromosom
Y berbentuk sedikit bengkok pada salah satu ujungnya. Kromosom Y lebih pendek dari kromosom X. Makhluk jantan memiliki 1 kromosom X dan 1
kromosom Y.
Karena
kromosom pada betina sejenis (XX) maka disebut homogametic, sedangkan pada
jantan disebut heterogametic karena berbeda (XY). Dalam keadaan normal betina
akan membentuk 1 macam sel telur yang bersifat haploid (3 pasang autosom + X),
jantan akan membentuk 2 macam spermatozoa yang haploid (3 pasang autosom + X
dan 3 pasang autosom + Y).
Apabila sel telur dibuahi oleh
spermatozoa yang membawa kromosom X , maka akan menjadi betina yang diploid (3
pasang autosom + XX), sedangkan bila sel telur dibuahi oleh spermatozoa yang
membawa kromosom Y, maka akan menjadi jantan yang diploid (3 pasang autosom +
XY).
Terkadang pada waktu pembentukan sel
kelamin (meiose) sepasang kromosom kelamin tidak memisahkan diri, melainkan
tetap berkumpul disebut non disjunction.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus