BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Serangga
dalam hidupnya sebagai parasit, dapat pula menimbulkan penyakit pada hospes
yang dihinggapinya. Penyakit ini disebabkan karena kehadiran serangga dewasa
atau larva yang menimbulkan iritasi atau kerusakan pada hospes dimana parasit
ini hidup. Pada paper ini akan dibahas mengenai penyakit Myasis yang disebabkan oleh lalat Chrysomya bezziana.
Myasis adalah penyakit
yang disebabkan oleh infestasi larva lalat kedalam suatu jaringan hidup manusia dan hewan. Penyakit
ini sering ditemukan pada Negara-negara dengan masyarakat golongan sosial
ekonomi kelas rendah. Diantara lalat penyebab myasis di dunia, Chrysomya bezziana mempunyai nilai medis
yang penting karena bersifat obligatif parasit. Infestasi myasis pada jaringan akan mengakibatkan berbagai gejala tergantung pada lokasi yang dikenai.
Larva yang menyebabkan myasis dapat hidup sebagai parasit di kulit, jaringan subkutan, soft tissue, mulut, traktus
gastrointestinal, system urogenital, hidung, telinga dan mata.
Higiene yang buruk dan bekerja pada daerah yang terkontaminasi,
melatarbelakangi infestasi parasit ini. Manifestasi klinik termasuk pruritus, nyeri,
inflamasi, demam, eosinofilia dan infeksi sekunder. Penyakit ini jarang
menyebabkan kematian.
1.2 Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan
dari penulisan paper ini adalah :
1. Untuk
mengetahui etiologi dari Chrysomia benziana.
2. Untuk mengetahui hewan yang rentan terinfeksi myasis.
3. Untuk mengetahui cara penularan myasis.
4. Untuk mengetahui patogenesis dan gejala klinis dari
myasis.
5. Untuk mengetahui patologi anatomi myasis.
6. Untuk mengetahui histopatologi myasis.
7. Untuk mengetahui cara diagnosa dari myasis.
8. Untuk mengetahui cara penanganan penyakit myasis.
1.3 Manfaat
penulisan
Adapun manfaat
yang di dapat dari penulisan paper ini adalah :
1. Mengetahui
etiologi dari Chrysomia benziana.
2. Mengetahui hewan yang rentan terinfeksi myasis.
3. Mengetahui cara penularan myasis.
4. Mengetahui patogenesis dan gejala klinis dari myasis.
5. Mengetahui patologi anatomi myasis.
6. Mengetahui histopatologi myasis.
7. Mengetahui cara diagnosa dari myasis.
8. Mengetahui cara penanganan penyakit myasis.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Etiologi
Myiasis
adalah infestasi larva lalat pada jaringan tubuh hewan yang masih hidup,
disebabkan oleh larva lalat fakultatif dan atau obligat. Kejadian Myiasis di Indonesia teridentifikasi disebabkan
oleh larva lalat : Chrysomia benziana,
Booponus intonsus, Lucillia, Calliphora, Musca dan Sarcophaga. Genus Chrysomia yang
memegang peranan penting dalam kasus myasis yaitu Chrysomia megacephala dan Chrysomia
bezziana.
a) Berdasarkan
sifatnya maka larva tersebut dibedakan menjadi :
ü Fakultatif Parasit yaitu
larva secara normal hidup bebas dan mampu berkembang pada bahan
bahan organik yang busuk, tetapi larva tersebut dapat dijumpai pada
hewan hidup dimana mampu berkembang dan selanjutnya dapat bertindak
sebagai parasit untuk kelangsungan hidupnya. Terdiri dari Blowflies
, misalnya : Larva dari Lucilia, Phormia, Calliphora dan
Chrysomyia.
ü Obligat Parasit yaitu
larva secara normal membutuhkan jaringan induk semangnya sebagai makanan dalam
perkembang biakannya terdiri dari: Bot flies, misalnya, Larva dari genus
Gasterophilus, Oestrus. Warble flies misalnya, Larva dari Hipoderma
bovis dan H. lineatum. Screw worm
misalnya, Larva dari Callitroga hominivorax, C. macellaria dan
Chrysomyia bezziana.
b) Berdasarkan
lokasi dari myasis maka dapat dibedakan menjadi :
ü Eksternal
myasis
Myasis yang
terjadi pada organ luar tubuh yang disebabkan karena luka. Myasis ini sering
diakibatkan oleh larva dari kelompok Blowflies serta Screw worm.
ü Internal
myasis
Myiasis
yang terjadi pada organ organ dalam dan rongga rongga lainnya. Sering
diakibatkan oleh larva dari kelompok Bot flies dan Warble flies.
Klasifikasi
Family
: Calliphoridae
Ordo
: Diphtera
Sub
ordo : Cyclorrapha
Kelas
: Insecta
Genus
: Chrysomya
Spesies
: Chrysomya bezziana
Lalat
C. bezziana berwarna biru metalik, biru keunguan atau biru kehijauan. Kepala
lalat ini berwarna oranye dengan mata berwarna merah gelap .Perbedaan antara
lalat betina dan jantan terletak pada matanya. Lalat betina memiliki celah yang
memisahkan mata kanan dan kiri lebih lebar dibandingkan lalat jantan.
Ukuran
lalat ini bervariasi tergantung pada ukuran larvanya. Panjang tubuhnya
rata-rata 10 mm dengan lebar kepala berkisar rata-rata 4,1 mm. Tidak ada
tanda-tanda makroskopik yang khas untuk dapat mengenalinya dengan kasat mata
sehingga identifikasi hanya dapat dilakukan melalui pemeriksaan mikroskopik.
Telur
chrysomya bezziana berwarna putih transparan dengan panjang 1,25 mm dan
berdiameter 0,26 mm, berbentuk silindris serta tumpul pada kedua ujungnya.
Larva C. beziiana terbagi menjadi tiga instar, yaitu L1, L2, dan L3. Larva ini
mempunyai 12 segmen, yaitu satu segmen kepala, tiga segmen torak, dan delapan
segmen abdominal. Ketiga instar tersebut dapat di bedakan dari panjang tubuh
dan warnanya. Panjang L1 adalah 1,6 mm dengan diameter 0,25 mm dan berwarna
putih, sedangkan L2 mempunyai panjang 3,5-5,5 mm dengan diameter 0,5-0,75 mm
dan berwarna putih samapi krem. Adapun panjang L3 mencapai 6,1-15,7 mm dengan
diameter 1,1-3,6 mm. L3 muda berwrna krem namun jika telah dewasa berwarna
merah muda.
Tubuh
larva dilengkapi bentukan duri dengan arah condong ke belakang. Spirakel anterior mempunyai empat sampai enam
papilla sedangkan spirakel posterior dilengkapi
tiga celah dengan peritreme yang kuat
dan berwarna kehitaman. Saat akan menjadi pupa, L3 berubah warna menjadi coklat
hingga hitam dengan panjang rata-rata 10,1 mm yang berdiameter 3,6 mm
2.1.2
Siklus Hidup
Siklus
hidup dari C. bezziana berkisar antara 9-15 hari dan lalat betina bertelur sekitar
150-200 telur sekaligus. Telur diletakkan di luka dan selaput lendir dari hewan
hidup dan akan menetas setelah 24 jam pada suhu 30°C. Setelah 12-18 jam dari
waktu penetasan telur, larva stadium 1 muncul dari dalam telur dan bergerak
dipermukaan luka atau pada jaringan yang basah. Larva ini berubah menjadi larva
stadium II setelah 30
jam dan larva stadium III setelah 4 hari. Larva stadium II dan III menembus
jaringan hidup dari host dan hidup dari jaringannya. Pada saat makan hanya
kait-kait posterior yang
tampak. Larva stadium III meninggalkan luka setelah makan dan berubah menjadi
pupa dan kemudian lalat dewasa. Larva akan membentuk pupa dalam waktu 24 jam
pada suhu 28°C
Penetasan lalat dari pupa sangat tergantung dari lingkungan. Pupa akan menetas menjadi lalat dalam seminggu pada suhu 25°C-30°C, sedangkan pada temperatur yang lebih rendah akan lebih lama bahkan sampai berbulan-bulan. Lalat jantan dan betina mempunyai daya tahan hidup yang relatif sama yaitu 15 hari dalam kondisi laboratorium, hingga empat puluh hari.
2.2
Hewan Rentan
Myasis
biasanya menyerang hewan ternak (sapi, kuda, kerbau, kambing, dan babi) dan
juga hewan kesayangan (anjing dan kucing). Kejadian myasis pada ternak dan
hewan kesayangan dapat diawali karena
gigitan lalat Tabanidae, akibat infestasi Sarcoptes
scabiei, cacing Strongyloides sp,
kejadian pascapartus, luka umbilicus, luka traumatika karena perkelahian ,
tergores duri atau benda lain. NORVAL
(1978) melaporkan kematian tiga ratus ribu ternak terserang myasis akibat
terganggunya program control caplak di Zimbabwe sepanjang tahun 1973-1978.
Kejadian myasis di Indonesia pertama kali ditemukan pada kuku sapi dan kuda yang terinfeksi larva lalat C. bezziana di daerah minahasa. Beberapa
kasus myasis yang terjadi pada hewan di Indonesia disebabkan oleh infestasi
larva C. bezziana atau bercampur dengan Sarcophaga sp. Sulawesi,
Sumba Timur, Pulau Lombok, Sumbawa, Papua dan Jawa telah dilaporkan sebagai
daerah endemik myasis. Umumnya, kasus myasis cukup tinggi menjelang hingga
musim hujan, yaitu pada bulan Agustus sampai April, sedangkan kasus terendah
terjadi pada bulan Mei sampai Juli.
Sebagai
faktor predisposisi (pendukung) utama terjadinya Myiasis adalah harus didahului
dengan adanya luka. (luka traumatik, gigitan caplak, tembak, operasi, gigitan
hewan lain dan sebab lainnya). Lalat betina dewasa akan bertelur disekitar
luka, jika telur sudah menetas maka larva akan bergerak dan masuk kedalam luka
serta memakan sel-sel jaringan, kemudian jatuh membentuk kokon dan didalamnya
berkembang menjadi pupa dan akhirnya keluar lalat dewasa.
2.4
Patogenesis dan Gejala
Klinis
Setelah
telur lalat menetas, larva akan masuk kedalam luka dengan kait pada mulut dan
sekresi enzyme proteolitik maka larva akan bisa memakan sel-sel jaringan, serta
membuat terowongan didalam jaringan sehingga akan memperparah kerusakan. Selain itu karena ada luka terbuka kemungkinan besar akan
terjadi infeksi sekunder oleh kuman pyogenes (Sarcophaga sp, Chrysomya
megachepalla, Musca sp).
Gejala klinis yang teramati mula-mula terlihat luka kecil
yang didalamnya terlihat ada larva lalat, lama-kelamaan karena diperparah oleh
infeksi sekunder menyebabkan terjadinya
pembusukan dan pembentukan nanah sehingga akhirnya terjadi borok yang
mengeluarkan cairan dan berbau busuk. Gejala klinis lainnya sesuai dengan
kelainan fungsi dari bagian tubuh yang terkena myiasis (misalnya jika terjadi myiasis
pada kaki gejalanya pincang, jika terjadi pada daerah kepala berjalan dengan kepala miring dsb) serta
diikuti oleh gejala umum lainnya seperti hewan menjadi tidak tenang, nafsu
makan menurun, lemah, letih, lesu, suka bersembunyi menghindari lalat. Selain
itu gejala klinis lainnya yaitu berupa radang, anemia, tidak tenang sehingga
mengakibatkan ternak mengalami penurunan bobot badan dan produksi susu,
kerusakan jaringan, infertilitas, hipereosinofilia serta peningkatan suhu
tubuh.
2.5 Patologi Anatomi
Keadaan
patologi anatomi yang dapat dilihat untuk mengidentifikasi penyakit myasis
adalah dengan melihat luka pada hewan yang di dalam luka tersebut terdapat
larva dari C. bezziana.
2.6 Diagnosa
Sangat mudah dengan memeriksa luka yang didalamnya
ditemukan larva lalat C. bezziana.
Umumnya, larva C. bezziana ditemukan pada kondisi infestasi primer, namun
jika telah terjadi lama maka akan dijumpai larva lalat lain seperti Sarcophaga sp, C. Megachepala, atau M.
domestica. Identifikasi larva lalat dilakukan dibawah mikroskop stereo
untuk melihat spirakel anterior dan posterior serta bentuk spina (duri) yang
khas pada masing-masing spesies larva lalat.
2.7 Penanganan dan Pengobatan
Myiasis mempunyai tingkat morbiditas
tinggi dan mortalitas rendah. Myiasis dapat bersifat fatal bila tidak dilakukan
pengobatan dengan segera, bila terjadi dalam waktu yang lama akan menyerang
organ vital, dan apabila terjadi infeksi sekunder. Pada beberapa kasus, pemilik
hewan tidak menyadari bahwa hewan kesayangannya terserang myiasis terutama pada
hewan-hewan berbulu panjang.
Cara
pencegahan dari penyakit Myasis ini adalah diusahakan tidak
terjadi kelukaan yang nantinya akan menjadi tempat berkembangnya larva lalat
dan tindakan penurunan populasi lalat. Kasus myasis banyak terjadi pada
daerah-daerah endemik myasis. Kondisi ini berkaitan erat dengan jumlah populasi
lalat penyebab myasis serta ekologi daerah tersebut. Daerah yang memiliki
pepohonan, semak-semak dan sungai merupakan tempat ideal untuk kelangsungan
hidup lalat-lalat penyebab myasis. Pengendalian populasi lalat C. bezziana tidak mungkin diarahkan
dengan melakukan penebangan hutan atau pembakaran semak-semak karena akan
mengganggu ekosistem lainnya. Sejauh ini, berbagai upaya pengendalian dan
pemberantasan C. bezziana telah
banyak dilakukan. Efektifitas pengendalian lalat dapat ditingkatkan dengan
cara mengurangi jumlah populasi lalat dewasa, terutama ketika populasi lalat
ini mengalami peningkatan di alam. Salah satu metode yang dilakukan adalah Screworm Adult Suppresion System (SWASS)
yaitu mengkombinasikan penggunaan umpan (bait),
perangsang pakan (feeding stimulant)
yang terdiri dari campuran tepung darah, gula, dan bongkol jagung dan
insektisida yang dibentuk menjadi pelet kemudian disebar dengan pesawat. Metode
lainnya disebut dengan bait station yaitu
penggunaan elemen yang sama dengan SWASS dalam suatu alat permanen kemudian
diletakkan di atas tanah. Kedua metode diatas menggunakan campuran pemikat
sintetik swormlure (SL2) dengan
insektisida dichlorovos. SWASS dilaporkan cukup berhasil untuk mengurangi
populasi lalat dan menurunkan jumlah kasus myasis di USA dan Mexico. Kelemahan
metode ini adalah kurang efektif untuk daerah yang lembab, daerah yang banyak
mempunyai saluran air dan hanya bertahan 3-5 hari mengembangkan
suatu metode untuk menguji daya pikat C.
bezziana baik pada kondisi laboratorium maupun semi lapang. Secara
tradisional pemikat yang digunakan untuk memonitor populasi lalat adalah
gerusan hati sapi. Gerusan hati sapi dicampurkan dengan senyawa kimia (volatil)
untuk menarik perhatian lalat sehingga dapat dikendalikan. Keuntungannya adalah
komposisi bahan kimia yang dibutuhkan lebih sedikit dan hemat.
Pengobatan terhadap penyakit myasis dapat dilakukan
dengan cara antara lain :
ü
Bersihkan
luka dengan antiseptik yang ada
ü
Keluarkan
larva dari dalam luka dengan cara dicabuti, tetapi sebelumnya larva harus
dibunuh dulu menggunakan insektisida seperti (Coumaphos, Diazinon, Ivermectin)
ü
Setelah larvanya habis
dicabuti, berikan salep (Diazinon atau Coumaphos) 2% dalam vaselin dioleskan
langsung disekitar borok untuk untuk mencegah infeksi ulang
ü
Untuk
mencegah infeksi sekunder diberikan antibiotik (penicilin 20.000 IU/Kg bb) dan
sulfanilamida serbuk.
ü
Untuk
mempercepat kesembuhan luka dapat diberikan minyak ikan karena mengandung
vitamin A dan D yang bagus untuk regenerasi kulit.
ü
Pengobatan myiasis yang
dilakukan di lapangan di Sumba Timur menggunakan karbamat dan Echon. Kedua
preparat ini cukup berbahaya karena merupakan insektisida sistemik sehingga
banyak dilaporkan adanya keracunan pada ternak pascapengobatan
ü
Disamping itu,
digunakan juga obat-obat tradisional yaitu tembakau, batu baterai yang dicampur
dengan oli, selanjutnya dioleskan pada luka. Pengobatan dengan cara ini
ditujukan untuk mengeluarkan larva dari luka tetapi berakibat iritasi pada
kuhit
ü
Campuran
dari 50 g yodium, 200 ml alkohol 75% dan 5 ml Ecoflee° yang selanjutnya
ditambah air hingga satu liter . Ramuan ini langsung disemprotkan pada luka
yang mengandung larva sehingga larva keluar dan luka menjadi mengecil . pengobatan ini dilakukan 2x seminggu
ü
Beberapa
insektisida botanis dari biji srikaya dan mindi, minyak atsiri, seperti minyak
atsiri nilam dan akar wangi j uga telah dicoba secara in vitro sebagai
insektisida botanis dan terbukti mampu mematikan larva C. bezziana
ü
pemanfaatan
Bacillus thuringiensis untuk dijadikan bioinsektisida
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Myasis
(belatung) merupakan infestasi larva lalat ke dalam suatu jaringan hidup hewan
berdarah panas. Penyakit ini sering ditemukan pada Negara-negara tropis dan
sering menyerang hewan ternak dan juga hewan kesayangan. Lalat Chrysomya bezziana merupakan salah satu
vector penyebab penyakit myasis dikarenakan mempunyai nilai medis yang penting
dan bersifat obligat parasit dan menimbulkan kerugian ekonomis. Kasus myasis
pada hewan sering terjadi akibat pasca partus (myasis vulva) yang diikuti oleh
pemotongan tali pusar anaknya (myasis umbilikus) atau akibat luka traumatika.
Gejala klinis myasis sangat bervariasi yaitu hewan
menjadi tidak tenang, nafsu makan menurun, lemah, letih, lesu, suka bersembunyi
menghindari lalat. Kondisi ini
diperparah dengan adanya infeksi sekunder. Cara pencegahan dari myasis adalah
dengan menghindari terjadinya kelukaan pada hewan dan menurunkan angka populasi
lalat penyebab myasis serta pengobatannya dengan memberikan antibiotik,
antiseptik, dan minyak ikan.
DAFTAR PUSTAKA
yudhiestar.blogspot.com/2011_01_01_archive.html
meeevet.blogspot.com/2012/03/myasis-pada-anjing.html
peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/lokakarya/lkzo05-39.pdf
micymicy.blogspot.com/2011/08/myiasis.html
www.scribd.com/doc/54037496/BAB-I-C-bezziana
sonyapalingbisa.wordpress.com/2010/12/14/myasis/
ariputuamijaya.wordpress.com/2011/12/10/myiasis
dayuntarivetmed.lecture.ub.ac.id/2012/01/myiasis/
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus