Rabu, 21 Maret 2012
Senin, 19 Maret 2012
Minggu, 18 Maret 2012
Cekaman sosial ternak
Tugas
MK. Ilmu Tingkah Laku Ternak
Pengaruh Lingkungan
terhadap fisiologi ternak
Oleh :
Zaenal Abidin
(1007105050)
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2012
Kata
Pengantar
Puji dan syukur
penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan paper ini
dengan lancar. Penulisan paper ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas
yang diberikan oleh dosen Mata kuliah Ilmu tingkah laku ternak.
Penulis harap, dengan membaca paper
ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan
kita mengenai pengaruh lingkungan terhadap fisilogis ternak. Memang paper ini
masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Denpasar, 7 Maret 2012
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Faktor lingkungan
yang berpengaruh langsung pada kehidupan ternak adalah iklim. Iklim merupakan
faktor yang menentukan ciri khas dari seekor ternak. Ternak yang hidup di
daerah yang beriklim tropis berbeda dengan ternak yang hidup di daerah
subtropis. Namun hal tersebut dapat diatasi misalnya di beberapa negara tropis,
Air Condition (AC) digunakan dalam beternak untuk mengendalikan atau menyesuaikan suhu
di lingkungan sekitar ternak yang berasal dari daerah subtropis, sehingga
ternak tersebut dapat berproduksi dengan normal.
1.2
Maksud
dan Tujuan
Tujuan
penyusunan paper ini adalah untuk membahas lebih lanjut tentang iklim yang merupakan hal
terpenting dalam penentuan kerja status fisiologi dari ternak terutama pada
produktivitasnya.
1.3
Manfaat
Manfaat dari
penyusunan paper ini adalah pembaca dapat memahami pengaruh iklim dan unsur-unsur lain
seperti suhu dan kelembaban yang dapat mempengaruhi fisiologis ternak.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Iklim
Iklim merupakan salah satu faktor lingkungan yang
berpengaruh langsung terhadap ternak juga berpengaruh tidak langsung melalui
pengaruhnya terhadap faktor lingkungan yang lain. Selain itu berbeda dengan
faktor lingkungan yang lain seperti pakan dan kesehatan, iklim tidak dapat
diatur atau dikuasai sepenuhnya oleh manusia. Untuk memperoleh produktivitas
ternak yang efisien, manusia harus “menyesuaikan“ dengan iklim setempat. Penerapan ternak di daerah
yang iklimnya sesuai akan menunjang dihasilkannya produksi secara optimal.
Salah satu unsur penentu iklim adalah suhu lingkungan. Bagi sapi potong yang
mempunyai suhu tubuh optimum 38.33°C, suhu lingkungan 25°C dapat menyebabkan
peningkatan rata pernafasan, suhu rektal dan pengeluaran keringat, yang
semuanya merupakan manifestasi tubuh untuk mempertahankan diri dari cekaman
panas. Semakin banyak jumlah keringat yang dikeluarkan, hewan makin tidak tahan
terhadap cekaman panas. Dan
juga ketika Suhu dan kelembaban
udara yang tinggi akan menyebabkan stress pada ternak sehingga suhu tubuh,
respirasi dan denyut jantung meningkat, serta konsumsi pakan menurun, akhirnya
menyebabkan produktivitas ternak rendah
2.2 Temperatur Lingkungan
Lingkungan
dapat diklasifikasikan dalam dua komponen, yaitu :
(1) Abiotik
: semua faktor fisik dan kimia
(2) Biotik
: semua interaksi di antara (perwujudan) makanan, air, predasi, penyakit serta
interaksi sosial dan seksual.
Faktor
lingkungan abiotik adalah faktor yang paling berperan dalam menyebabkan stres
fisiologis (Yousefdalam Sientje, 2003).. Komponen lingkungan abiotik utama yang pengaruhnya nyata terhadap ternak
adalah temperatur, kelembaban (Yousef ; Chantalakhana dan Skunmun dalam Sientje, 2003), curah hujan, angin dan radiasi matahari (Yousef ; Cole and Brander dalam Sientje, 2003).
Temperatur
lingkungan adalah ukuran dari intensitas panas dalam unit standar dan biasanya
diekspresikan dalam skala derajat celsius (Yousef dalam Sientje, 2003). Secara umum, temperatur udara adalah faktor bioklimat tunggal yang penting
dalam lingkungan fisik ternak. Supaya ternak dapat hidup nyaman dan proses
fisiologi dapat berfungsi normal, dibutuhkan temperatur lingkungan yang sesuai.
Banyak species ternak membutuhkan temperatur nyaman 13 – 18 oC
(Chantalakhana dan Skunmun, dalam Sientje, 2003) atau
Temperature Humidity Index (THI) < 72 (Davidson, et al. dalam Sientje, 2003).
Setiap hewan
mempunyai kisaran temperatur lingkungan yang paling sesuai yang disebut Comfort
Zone. Temperatur lingkungan yang paling sesuai bagi kehidupan ternak di daerah
tropik adalah 10°C-27°C (50°F-80°F). Sedangkan keadaan lingkungan yang ideal
untuk ternak di daerah sub tropis (sapi perah) adalah pada temperatur antara
30°F-60°F dan dengan kelembaban rendah. Selain itu, sapi FH maupun PFH
memerlukan persyaratan iklim dengan ketinggian tempat ± 1000 m dari permukaan
laut, suhu berkisar antara 15°- 21°C dan kelembaban udaranya diatas 55 persen.
Kenaikan temperatur udara di atas 60°F relatif mempunyai sedikit efek terhadap
produksi.
2.3 Fisiologis Ternak
Fisiologis
ternak meliputi suhu tubuh, respirasi dan denyut jantung. Suhu tubuh hewan
homeotermi merupakan hasil keseimbangan dari panas yang diterima dan
dikeluarkan oleh tubuh. Dalam keadaan normal suhu tubuh ternak sejenis dapat
bervariasi karena adanya perbedaan umur, jenis kelamin, iklim, panjang hari,
suhu lingkungan, aktivitas, pakan, aktivitas pencernaan dan jumlah air yang
diminum. Suhu normal adalah panas tubuh dalam zone thermoneutral pada
aktivitas tubuh terendah. Variasi normal suhu tubuh akan berkurang bila
mekanisme thermoregulasi telah bekerja sempurna dan hewan telah dewasa. Salah
satu cara untuk memperoleh gambaran suhu tubuh adalah dengan melihat suhu
rectal dengan pertimbangan bahwa rectal merupakan tempat pengukuran terbaik dan
dapat mewakili suhu tubuh secara keseluruhan sehingga dapat disebut sebagai
suhu tubuh. Respirasi adalah proses pertukaran gas sebagai suatu rangkaian
kegiatan fisik dan kimis dalam tubuh organisme dalam lingkungan sekitarnya.
Oksigen diambil dari udara sebagai bahan yang dibutuhkan jaringan tubuh dalam
proses metabolisme. Frekuensi respirasi bervariasi tergantung antara lain dari
besar badan, umur, aktivitas tubuh, kelelahan dan penuh tidaknya rumen.
Kecepatan respirasi meningkat sebanding dengan meningkatnya suhu lingkungan.
Meningkatnya frekuensi respirasi menunjukkan meningkatnya mekanisme tubuh untuk
mempertahankan keseimbangan fisiologik dalam tubuh hewan. Kelembaban udara
yang tinggi disertai suhu udara yang tinggi menyebabkan meningkatnya
frekuensi respirasi. Frekuensi denyut nadi dapat dideteksi melalui denyut
jantung yang dirambatakan pada dinding rongga dada atau pada pembuluh nadinya.
Frekuensi denyut nadi bervariasi tergantung dari jenis hewan, umur, kesehatan
dan suhu lingkungan. Disebutkan pula bahwa hewan muda mempunyai denyut nadi
yang lebih frekuen daripada hewan tua. Pada suhu lingkungan tinggi, denyut nadi
meningkat. Peningkatan ini berhubungan dengan peningkatan respirasi yang
menyebabkan meningkatnya aktivitas otot-otot respirasi, sehingga dibutuhkan
darah lebih banyak untuk mensuplai O2 dan nutrient melalui peningkatan aliran
darah dengan jalan peningkatan denyut nadi. Bila terjadi cekaman panas akibat
temperatur lingkungan yang tinggi maka frekuensi pulsus ternak akan meningkat,
hal ini berhubungan dengan peningkatan frekuensi respirasi yang menyebabkan
meningkatnya aktivitas otot-otot respirasi, sehingga memepercepat pemompaan
darah ke permukaan tubuh dan selanjutnya akan terjadi pelepasan panas tubuh.
Frekuensi Pulsus sapi dalam keadaan normal adalah 54-84 kali per menit atau
40-60 kali per menit dan sapi muda 80-90 kali per menit.
2.4 Stres
Stres adalah respon fisiologi, biokimia dan tingkah laku ternak terhadap
variasi faktor fisik, kimia dan biologis lingkungan (Yousef dalam Sientje, 2003). Dengan kata lain, stres terjadi apabila terjadi perubahan
lingkungan yang ekstrim, seperti peningkatan temperatur lingkungan atau ketika
toleransi ternak terhadap lingkungan menjadi rendah (Curtis dalam Sientje, 2003). Stres panas terjadi apabila temperatur lingkungan berubah menjadi lebih
tinggi di atas ZTN (upper critical temperature). Pada kondisi ini, toleransi
ternak terhadap lingkungan menjadi rendah atau menurun, sehingga ternak
mengalami cekaman (Yousef dalam Sientje, 2003). Stres panas ini akan berpengaruh
terhadap pertumbuhan, reproduksi dan laktasi sapi perah termasuk di dalamnya
pengaruh terhadap hormonal, produksi susu dan komposisi susu (Mc Dowell dalam Sientje, 2003). Ternak yang
mengalami stres panas akibat meningkatnya temperatur lingkungan, fungsi
kelenjar tiroidnya akan terganggu. Hal ini akan
mempengaruhi selera makan dan penampilan (MC Dowell dalam Sientje, 2003).Stres panas kronik juga menyebabkan penurunan konsentrasi growth hormone
dan glukokortikoid. Pengurangan konsentrasi hormon
ini, berhubungan dengan pengurangan laju metabolik selama stres panas. Selain
itu, selama stres panas konsentrasi prolaktin meningkat dan diduga meningkatkan
metabolisme air dan elektrolit. Hal ini akan mempengaruhi hormon aldosteron
yang berhubungan dengan metabolisme elektrolit tersebut. Pada ternak yang
menderita stres panas, kalium yang disekresikan melalui keringat tinggi
menyebabkan pengurangan konsentrasi aldosteron (Anderson dalam Sientje, 2003).
2.5 STRATEGI
PENGURANGAN STRES PANAS
Stres panas harus
ditangani dengan serius, agar tidak memberikan pengaruh negatif yang lebih
besar. Beberapa strategi yang digunakan untuk mengurangi stres panas dan telah
memberikan hasil positif adalah :
1. Perbaikan sumber pakan/ransum, dalam hal ini
keseimbangan energi, protein, mineral dan vitamin
2. Perbaikan genetik untuk
mendapatkan breed yang tahan panas
3. Perbaikan konstruksi kandang,
pemberian naungan pohon dan mengkontinyu kan suplai air
4. Penggunaan naungan,
penyemprotan air dan penggunaan kipas angin serta kombinasinya
BAB
III
SIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan
dari materi yang dibahas diatas adalah: (1)Lingkungan berpengaruh besar
terhadap sifat genetik ternak; (2) Penerapan ternak di daerah yang iklimnya
sesuai akan menunjang dihasilkannya produksi secara optimal; (3) Suhu dan
kelembaban lingkungan yang tinggi dapat menyebabkan stress terhadap ternak
sehingga fisiologis ternak tersebut meningkat dan konsumsi pakan menurun,
sehingga produktivitasnya menurun; (4) Frekuensi pernapasan
berpengaruh kepada lingkungan, apabila suhu dan kelembaban naik maka frekuensi
respirasi dan denyut jantung akan meningkat; (5) Daya tahan terhadap panas
dapat dihitung dengan melihat jumlah keringat yang diekskresikan oleh hewan
atau ternak.
Daftar
Pustaka
Reksohadiprojo,
S. 1984. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. BPFE, Yogyakarta.
Sientje. 2003. Stres Panas Pada Sapi Perah Laktasi.
IPB, Bogor
Soedomo
Reksohadiprojo. 1984. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. BPFE, Yogyakarta.
Umar Ar., dkk.
1991. Pengaruh Frekuensi Penyiraman/memandikan terhadap status faali Sapi Perah
yang dipelihara di Bertais Kabupaten Lombok Barat. UNRAM University
Press, Mataram.
Widoretno,
Dyah Kusumo Utari., 1983. Cara Pengukuran Ekskresi Keringan untuk Mengetahui
Daya Tahan Panas Sapi Potong. UNPAD University Press, Bandung.
http://www.ojimori.com/2011/06/05/pengaruh-lingkungan-terhadap-tingkah-laku-ternak/
Faktor resiko kejadian flu burung
Tugas
MK. Ilmu Kesehatan Ternak
Faktor resiko
kejadian flu burung pada peternakan unggas rakyat komersial
Oleh :
Zaenal Abidin
(1007105050)
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2012
ABSTRACT
MUHLIS NATSIR. Risk Factors Avian Influenza
In Poultry Farming of Commercial Sidrap Regency Year 2007-2009. (Supervised by
A. Zulkifli Abdullah and Ridwan M. Thaha).
Bird flu or Avian Influenza (AI) is a
contagious disease that can infection all types of birds, humans, pigs, horses
and dogs and is caused by Avian Influenza virus type A of the Orthomyxoviridae
family. Bird flu virus is zoonosis and it has a high mutation rate, so that
this disease has a social impact, economic and political big enough.
This study aims
to analyze some of the risk factors bird flu outbreak in commercial layer
poultry farm in the District Sidrap years 2007-2009. Research design used was analytical
observasional Case Control Study. Research in April - May 2009. Elections
sample purposively sampling of 136 poultry farm layer consisting of 68 sample
cases as livestock and animal husbandry as 68 control samples. Data analyzed
with the test Odds Ratio (OR) and logistic regression with convidence interval
95% (α = 0.05).
Results of this
research show that the breeder has knowledge OR 4.371 (CI = 2.089 - 9.144); environmental hygiene pen OR 2.460
(CI = 1.128 - 5.366); hygiene personnel
cage OR 10.086 (CI = 4.182 - 24.327); interval enclosure OR 4.218 ( CI = 2.042
- 8.713); distance pen OR 2.962 (CI = 1.366 - 6.420) System maintenance is not
contemporary OR 8.907 (CI = 3.907 -
18.407) and the existence of wild animals OR 1.436 (CI = 0.621 - 3.320). From
the results of the research conclude that the personnel cage, cage environmental
hygiene, hygiene of personnel cage, cage rest time, distance, and system
maintenance shed that is not contemporary risk factors is a bird flu outbreak.
Hygiene of personnel is the enclosure of most risk factors for bird flu
outbreak. Biosekurity conducted in each period of maintenance to prevent the
risk of transmission disease agents, and conducted further research on the
mechanism for their role factor in the cause of the spread of bird flu virus,
and socialization to the farm in order to perform decontamination personnel
cage at the time of entry and exit enclosure.
Keywords: Avian Influenza, case control,
people of a commercial poultry farm
PENDAHULUAN
Avian Influenza (AI) adalah penyakit
menular yang dapat menginfeksi semua jenis unggas, manusia, babi, kuda dan anjing
dan disebabkan oleh virus Avian Influenza type A dari family Orthomyxoviridae.
Secara umum, beberapa virus Avian Influenza dapat beradaptasi pada spesies
unggas baru dan menyebabkan outbreak baik epidemik maupun endemik. Di Indonesia
pertama kali dilaporkan mengalami wabah Avian Influenza (AI) pada pertengahan tahun 2003 dan baru
dinyatakan oleh pemerintah Indonesia pada tanggal 2 Februari 20043. Menurut Darminto (2006), AI bersifat zoonosis dan virus penyebabnya
memiliki tingkat mutasi yang tinggi, sehingga penyakit ini memiliki dampak
sosial, ekonomi dan politik yang cukup besar. Penyebaran AI berlangsung terus
sampai sekarang. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mencegah dan memberantas
penyebarannya, namun ternyata sulit sekali diberantas.
Peternak unggas rakyat komersial di Propinsi
Sulawesi Selatan mengalami kerugian sebagai dampak dari wabah AI. Walaupun
kasus flu burung pada manusia di Kabupaten Sidrap belum ditemukan namun
kematian unggas paling banyak terjadi di 10 kecamatan di Kabupaten Sidrap,
karena di kabupaten ini populasi unggas komersial baik ayam petelur dan
pedaging terbesar di Sulawesi Selatan.
Kasus AI di Sulawesi Selatan pertama kali dilaporkan terjadi sejak awal bulan
Maret 2005 pada 6 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Wajo, Sidrap, Soppeng,
Pinrang, Maros dan Pare-Pare dan sampai akhir 2005, 15 dari 23 kabupaten/kota
dinyatakan tertular. Tahun 2006 bertambah menjadi 17 kabupaten/kota tertular,
tahun 2007 menjadi 20 kabupaten/kota tertular. Sampai dengan Nopember 2008
semua kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dinyatakan sudah tertular AI
Berdasarkan data Dinas Peternakan
Propinsi Sulawesi Selatan, populasi unggas yang terkena wabah AI selama tahun
2005 sebanyak 749.334 ekor, sedangkan kematian terjadi lebih dari 50% nya yaitu
sebanyak 429.417 ekor (CFR = 57,31%). Selama tahun 2006 tidak terdapat kasus
AI, sedangkan tahun 2007 terdapat kematian sebanyak 29.220 ekor dan tahun 2008 kematian sebanyak 2.447 ekor.
BAHAN DAN METODE
Desain
Penelitian
Jenis penelitian
yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian observasional
analitik dengan rancangan Case Control Study (studi kasus kontrol).
Lokasi
Penelitian
Penelitian ini
dilakukan di lokasi peternakan unggas rakyat komersial khususnya peternakan
ayam petelur yang ada di Kabupaten Sidrap pada bulan April sampai dengan Mei
2009. Karena di kabupaten ini populasi
unggas komersial baik ayam petelur dan pedaging terbesar di Sulawesi Selatan.
Populasi
Dan Sampel
Populasi dalam
penelitian ini adalah peternakan ayam
petelur rakyat komersial yang berada di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi
Selatan. Sampel dalam penelitian ini terbagi dua yaitu sampel kasus dan
kontrol. Sampel kasus yaitu peternakan ayam petelur rakyat komersial yang
sedang atau pernah dilaporkan terkena AI, dan sampel kontrol dalam penelitian
ini adalah peternakan ayam petelur rakyat komersial yang tidak pernah
dilaporkan atau terkena AI.
Besar sampel dalam penelitian ini dengan
menggunakan Tabel Lamesshow, dengan tingkat kemaknaan 5 %, OR=2, derajat
kepercayaan (CI) 95%, sehingga jumlah
sampel kasus diperoleh sebanyak
68 peternakan dan besaran sampel kontrol diambil dengan perbandingan 1:1 yaitu
68 peternakan Kontrol, sehingga jumlah sampel keseluruhan 136 peternakan.
Metode
Pengumpulan Data
Data primer
diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan responden dan observasi langsung. Data sekunder
diperoleh dari berbagai buku-buku literatur, bulletin, jurnal penelitian,
website internet serta bacaan lain yang erat kaitannya dengan penelitian ini. Analisis Data
Analisis data
dilakukan untuk menguji hipotesis nol dengan menggunakan rumus Odds Ratio dengan table 2x2. Analisis Univariat untuk
mendapatkan gambaran umum dengan cara mendeskripsikan tiap-tiap variabel yang
digunakan dalam penelitian. Analisis
Bivariat untuk melihat hubungan variabel independen dengan variabel dependen.
Analisis Multivariat dengan menggunakan regresi logistik untuk menyeleksi
variabel bebas yang paling berpengaruh terhadap kejadian flu burung.
HASIL
Hubungan
pengetahuan personil kandang, kebersihan lingkungan kandang, kebersihan
personil kandang, waktu istirahat kandang,jarak kandang, sistem pemeliharan,
dan keberadaan hewan liar dapat dilihat pada tabel 1, berdasarkan pengetahuan
personil kandang dapat dilihat bahwa 68 responden peternakan yang mengalami flu
burung terdapat 39 peternakan (57,4%)memiliki pengetahuan yang kurang
dibandingkan responden yang memilki
pengetahuan yang cukup. Hasil uji OR (Odds Ratio) diperoleh nilai OR= 4,371
dengan CI 95%, dengan nilai LL= 2,089 dan UL= 9,144, berarti peternakan yang personil kandangnya memiliki pengetahuan
kurang berisiko 4,371 kali lebih besar
untuk terjadinya flu burung dibandingkan
pemilik peternakan yang memiliki
pengetahuan yang cukup.
Risiko
kebersihan lingkungan kandang terhadap
kejadian flu burung analisis distribusi silang antara kebersihan lingkungan
kandang dengan kejadian flu burung menunjukkan bahwa dari 68 responden
peternakan yang mengalami flu burung terdapat 55 peternakan (80,9%) yang
lingkungan sekitar kandangnya kurang bersih dibandingkan responden peternakan
yang lingkungan sekitar kandangnya bersih. Berdasarkan uji Odds Ratio (OR)
diperoleh nilai OR= 2,460, dengan nilai LL=1,128 dan UL= 5,366, berarti
peternakan yang lingkungan sekitar
kandangnya kurang bersih berisiko 2,460 kali lebih besar untuk terjadinya flu
burung dibandingkan peternakan yang
lingkungan sekitar kandangnya bersih.
Risiko
kebersihan personil kandang terhadap
kejadian flu burung, menunjukan bahwa
dari 68 responden peternakan yang mengalami flu burung terdapat 39 peternakan
(57,4%) yang personil kandangnya kurang
menjaga kebersihan atau tidak melakukan desinfeksi pada saat masuk atau keluar kandang dibandingkan responden
peternakan yang personil kandangnya menjaga kebersihan atau melakukan
desinfeksi pada saat masuk atau keluar kandang. Berdasarkan uji Odds Ratio (OR)
diperoleh nilai OR= 10.086, dengan nilai LL=4,182 dan UL=24,327, berarti
peternakan yang personil kandangnya kurang menjaga kebersihan atau
tidak melakukan desinfeksi pada saat masuk atau keluar kandang berisiko 10.086
kali lebih besar untuk terjadinya flu burung.
Risiko waktu
istirahat kandang terhadap kejadian flu
burung, menunjukkan bahwa dari 68 responden peternakan yang mengalami flu
burung terdapat 41 peternakan (60,3%) yang waktu istirahat kandangnya kurang
dari 3 bulan dibandingkan responden peternakan yang waktu istirahat kandangnya
≥ 3 bulan. Dari hasil uji statistik nilai OR diperoleh 4,218,dengan nilai LL =
2,0242 dan UL=8,713, berarti peternakan
yang waktu istirahat kandangnya kurang dari 3 bulan berisiko 4,218 kali lebih besar untuk
terjadinya flu burung
Risiko jarak
kandang terhadap kejadian flu
burung, terdapat 55 peternakan (80,9%)
yang jarak kandangnya kurang dari 7 meter dibandingkan responden peternakan
yang jarak kandangnya ≥ 7 meter. Dari hasil uji statistic nilai OR (odds Ratio)
sebesar 2,962 dengan nilai LL=1,366 dan nilai UL=6,420, berarti peternakan yang
jarak kandangnya kurang dari 7 meter
berisiko 2,962 kali lebih besar untuk terjadinya flu burung. Risiko
sistem pemeliharaan terhadap kejadian
flu burung, terdapat 53 peternakan
(77,9%) yang sistem pemeliharaannya tidak
seumur dibandingkan responden peternakan
yang sistem pemeliharaannya satu umur. Dengan nilai OR sebesar 8,907, dengan
nilai LL=3,907 dan UL=18,407, berarti peternakan yang sistem pemeliharaannya tidak seumur
berisiko 8,907 kali lebih besar untuk terjadinya flu burung.
Risiko
keberadaan hewan liar terhadap kejadian flu burung, terdapat 16 peternakan
(23,5%) terdapat hewan liar dikandang
dibandingkan peternakan yang tidak
ditemukan hewan liar di kandang sebanyak 52 peternakan (76,5%) sedangkan dari
68 responden peternakan yang tidak mengalami flu burung sebanyak 12 peternakan (17,6%) ditemukan
hewan liar di kandang dibandingkan peternakan yang tidak ada hewan liar di
kandang sebanyak 56 peternakan (82,4%). Dengan nilai OR= 1,436, dengan nilai
LL= 0,621 dan UL=3,320, berarti keberadaan hewan liar di kandang bukan
merupakan faktor risiko kejadian flu burung
Hasil uji
analisis secara multivariat yang menggunakan regresi logistic pada tabel 2
untuk keenam variabel yang diikutkan
dalam analisis multivariat terlihat bahwa variabel yang paling berpengaruh
terhadap kejadian flu burung adalah
kebersihan personil kandang.
PEMBAHASAN
Faktor
Risiko Kejadian Flu Burung Pada Peternakan Unggas Rakyat Komersial. Pengetahuan
merupakan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya perilaku dan tindakan seseorang oleh karena itu pengetahuan
masyarakat dalam kaitannya dengan penyebaran penyakit flu burung sangat penting
untuk melihat sejauh mana pengetahuan mereka tentang penyebab, cara penularan dan pencegahan penyakit flu burung agar
terhindar kemungkinan terjangkit penyakit flu burung.
Faktor kebersihan lingkungan kandang dan personil kandang adalah salah satu bagian biosekuriti dan
merupakan aspek potensial yang mempengaruhi kemungkinan masuknya agen penyakit
ke dalam peternakan. Penyebaran virus flu burung antar kandang dapat dikurangi
dengan selalu menjaga kebersihan kandang beserta peralatannya, apalagi jika
selalu menggunakan desinfektan yang tepat. Pergerakan orang seperti peternak,
Dokter Hewan, maupun tamu di peternakan merupakan salah satu faktor penyebaran
virus flu burung antar kandang. Menurut Marangon dan Capua (2005), analisis
yang dilakukan terhadap kasus wabah HPAI di Italia selama tahun 1999/2000
menunjukkan bahwa 9,4% penularan secara tidak langsung karena pertukaran karyawan,
alat-alat dan lain-lain.
.
Faktor waktu istirahat kandang sangat efektif
untuk mengurangi populasi mikroba yang ada. Mikroba pada dasarnya tidak dapat
bertahan lama di lingkungan, sebab untuk perkembangbiakannya memerlukan hospes
(induk semang). Virus flu burung
membutuhkan hospes hidup. Peternak unggas rakyat di Kabupaten Sidrap melakukan
istirahat kandang setelah panen atau afkir kebanyakan hanya untuk membersihkan
kandangnya saja sebelum diisi kembali,
setelah dirasa cukup bersih biasanya peternak langsung memasukkan ternak untuk
periode berikutnya untuk menghemat waktu dan mengurangi kerugian sehingga waktu
istirahat kandang relatif sangat pendek. Peternak mengistirahatkan kandangnya
agak lama jika ada alasan khusus seperti sulitnya mendapatkan bibit atau saat
harga dipasaran lagi tinggi. Padahal istirahat kandang sangat efektif
mengurangi populasi mikroba yang ada. Faktor jarak antar kandang di peternakan
penting untuk diperhatikan karena semakin dekat jarak antar kandang juga akan
meningkatkan risiko tertular penyakit jika peternakan tetangga terdekat terkena
penyakit. Sebuah penelitian di Italia menunjukkan bahwa 26,2% kejadian flu
burung dijumpai pada lingkungan dalam radius satu kilometer di seputar
peternakan terserang. Ternak unggas dalam radius 5-6 kilometer dari lokasi positif
flu burung harus terus diwaspadai.
Sedangkan IEC dalam sebuah
workshop di Hanoi menyatakan
bahwa virus flu burung dapat ditularkan oleh burung atau hewan liar dalam
radius 10 km dari lokasi positif flu burung, sehingga dalam radius tersebut
dianggap sebagai zona tertular yang harus diwaspadai.Faktor sistem pemeliharaan
tidak satu umur merupakan salah satu aspek potensial yang mempengaruhi
kemungkinan penyebaran penyakit flu burung dalam peternakan. Salah satu langkah untuk penanggulangan
penyebaran virus flu burung antar kandang adalah dengan menerapkan biosekuriti
yang ketat, sistem pemeliharaan all-in all-out, selalu menjaga kebersihan
kandang dan petugas kandang beserta peralatannya, serta menggunakan desinfektan
yang tepat. Pergerakan keluar-masuknya alat angkut seperti truk dan mobil
pengangkut ternak atau produknya serta boks kemasan harus diwaspadai karena
dapat sebagai media penularan virus flu burung, terutama jika alat angkut
tersebut selain digunakan di dalam farm juga digunakan keluar farm seperti di
pasar, farm atau wilayah lain yang tertular. Pada penelitian ini faktor
keberadaan hewan liar bukan merupakan
faktor risiko kejadian flu burung karena menurut informasi peternak tidak
dijumpai jalur migrasi burung liar antar daerah yang melewati Kabupaten
Sidenreng Rappang dimana keberadaan hewan liar terutama burung migran menjadi
salah satu komponen penting dalam penyebaran virus Flu burung. Disamping itu
letak geografi dan morfologi Kabupaten Sidrap
yang pegunungan berbukit dengan tanaman/hutan lebat menjadikan tempat yang cocok bagi burung dan
hewan liar lainnya untuk tinggal menetap di sana tanpa harus bermigrasi ke
areal terbuka yang menjadi lokasi peternakan sehingga hewan liar tersebut tidak
bebas masuk keluar area perkandangan disamping itu juga kebiasaan para peternak
menggunakan obat pembasmi hama seperti tikus dan lain-lain sehingga dapat
menekan penyebaran flu burung.
Faktor Yang Berisiko Terhadap Kejadian Flu
Burung Di Peternakan Unggas Rakyat Komersial.
Pada analisis multivariat variabel kebersihan personil kandang merupakan
variabel yang paling dominan terhadap kejadian flu burung di peternakan unggas
rakyat komersial di Kabupaten
Sidrap dengan nilai OR=11,553. Titik
kritis yang menjadi perhatian dalam penanggulangan flu burung antara lain
peningkatan biosekuriti terhadap semua yang berkaitan dengan ternak termasuk
petugas kandang, kontrol terhadap burung dan hewan liar termasuk
produk-produknya. Penelitian lain
menunjukkan bahwa virus AI dapat menyebar masuk ke kandang melalui petugas
kandang, apalagi jika tidak menerapkan biosekuriti yang ketat, untuk itu
sangat perlu sekali selalu menjaga
kebersihan petugas kandang beserta peralatannya
.
KESIMPULAN
Peternakan yang memiliki pengetahuan
personil kandang yang kurang berisiko 4,371 kali lebih besar untuk terjadinya
flu burung, lingkungan sekitar kandang kurang bersih berisiko 2,460 kali lebih
besar untuk terjadinya flu burung, kebersihan personil kandang yang tidak
melakukan desinfeksi atau kurang menjaga kebersihan pada saat masuk atau keluar
kandang berisiko 10,086 kali lebih besar untuk terjadinya flu burung, waktu
istirahat kandang kurang dari tiga bulan
berisiko 4,218 kali lebih besar untuk terjadinya flu burung, jarak kandang dengan kandang lainnya kurang
dari tujuh meter berisiko 2,926 kali lebih besar untuk terjadinya flu
burung, sistem pemeliharaan ayam petelur
yang tidak seumur berisiko 8,907 kali lebih besar untuk terjadinya flu
burung, keberadaan hewan liar bukan
merupakan faktor risiko untuk terjadinya flu burung. Disarankan agar dilakukan
biosekuriti dalam setiap periode pemeliharaan untuk mencegah risiko penularan
agen penyakit, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme
peranan masing-masing faktor penyebab dalam penyebaran virus flu burung, serta
perlu disosialisasikan ke peternakan untuk melakukan desinfeksi
personil kandang pada saat masuk maupun keluar kandang.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Alexander, D.J. 1982. Avian Influenza. Recent Developments. Vet Bull 12,
341-359.
2.
Hepworth, R., and Lenten, B.,
2006. Avian Influenza and Wild Bird: What is their Actual
Role in the Spread of the Viruses, International Scientific Task Force on Avian
Influenza,
www.aiweb.info.
3.
WHO, 2006. H5N1 Avian Influenza : Timeline, Previous events in Asia.
4.
Darminto, 2006. Mengenal Flu Burung dan Strategi Pengendaliannya, An Introduction to Avian
Influenza and it’s Control Strategy.
5.
Anonimous, 2008. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Propinsi Sulawesi Selatan Tahun
2008.
6.
Effendy, N, 2007. Survei Cepat Karakteristik dan Perilaku Masyarakat
Terhadap Flu Burung
Dengan Sistem Informasi Geografis Di
Desa Bulu Cenrana Kab.Sidrap. Skripsi.
Fakultas
Kesehatan Masyarakat UNHAS. Makassar.
7.
Anonimous, 2004. Guiding Principles for Highly Pathogenic Avian
Influenza Surveillance
and Diagnostic Networks in Asia, FAO Expert Meeting on Surveillance and
Diagnosis of
Avian Influenza in Asia, Bangkok.
8.
Marangon, S., and Capua, I., 2005., Control of AI in Italy : from
“Stamping-out” Strategy to
Emergency and Prophylactic
vaccination, Proc. International Conf on
Avian Influenza,
Paris, OIE.
9.
Power, C., 2005. The Source and Means of Spread of the Avian Influenza
Virus in the Lower
Fraser Valley of British Columbia During
an Outbreak in the Winter of 2004, An Interim
Report, canadian Foot Inspection Agency.
10.
Anonimous, 2006c, Avian Infleunza Backgrounder, American Veterinary
Medical Association.
11.
Anonimous, 2005, Vietnam Avian
Influenza/Pandemic Preparedness Communication Workshop,
IEC Working Group.
Sabtu, 17 Maret 2012
TRAGEDI
Tragedi 20 Februari dan Dampaknya
Hingga Saat Ini
Indonesia memiliki ragam budaya yang
khas dengan etniknya masing-masing, kekayaan dan keberagaman ini menjadi simbol
utama dari Bangsa Indonesia. Dari Pulau Sabang sampai Merauke, Indonesia
memiliki suku yang berbeda-beda dengan latar budaya yang bervariasi seperti
suku sunda, jawa, madura, bugis, banjar, aceh, bali, dan lain-lain.
Dari kekayaan inilah yang membuat
tiap suku harus saling berbaur sama lain, dalan satu keutuhan Bangsa Indonesia.
Tidak jarang suku-suku yang berpindah dari tempat satu ke tempat yang lain,
untuk mencari peruntungan di tempat lain yang dianggap mereka lebih baik dari
tempat yang ditinggali sebelumnya. Sehingga terbentuklah perluasan suku dan
budaya oleh suku yang berpindah tersebut beserta adat yang dimilikinya.
Salah
satu suku yang sering merantau dari tempat satu ke tempat yang lain adalah suku
Madura. Suku Madura adalah salah satu suku yang banyak berpindah dari tempat
satu ke tempat yang lain sama halnya seperti suku jawa dan bugis yang banyak
merantau. Dan dari sinilah integritas suku Madura muncul di tempat yang
didatanginya. Misalnya seperti Kalimantan, dalam penyebaranya populasi suku
Madura yang mendiami pulau Kalimantan cukup banyak terutama di wilayah
Kalimantan Selatan, Tengah, dan Timur. Banyaknya suku ini juga banyak membawa
pengaruh ditempat yang di datanginya. Seperti pergolakan ekonomi, budaya, adat,
suku, dan lain-lain. Munculnya Suku Madura di Kalimantan telah membawa dampak
postif dan negatif yang besar, hingga
menimbulkan catatan sejarah atas perkembangan ekonomi di Pulau Kalimantan dan
tragedi yang menimpa kota Sampit 10 tahun yang lalu, atau yang lebih dikenal
dengan istilah “Perang Sampit”.
Penyebab
tragedi ini adalah adanya persilisihan paham antara orang Madura dengan suku
Kalimantan yaitu Dayak, seperti bagi masyarakat Madura apabila tidak membawa
celurit itu sombong, sedangkan apabila membawa celurit bagi masyarakat dayak
itu sombong. Kemudian pemicu pengalihan tanah yang merugikan masyarakat Dayak
yang membuat sakit hati warga Dayak sendiri seperti pada kasus ini, orang
Madura datang kepada orang dayak untuk meminjam tanah untuk suatu keperluan,
dan orang dayak pun mengijinkannya hingga kemudian tanah itu digunakan untuk
membangun rumah atau ditanami sayur-sayuran dan keperluan lainya, namun ketika
tanah itu dipinta kembali malah orang yang meminjamkan tadi diusir dengan tidak
hormat, walaupun mereka sudah menunjukan surat tanah yang sah, namun tetap saja
tanah tidak bisa dikembalikan. Selain itu karena bertambahnya jumlah penebang
pohon membuat warga dayak terpaksa berpindah ke pedalaman, kemudian persaingan
etnis dalam perdagangan dan usaha banyak yang di kuasai oleh orang madura
seperti pelabuhan, konon orang yang masuk ketempat mereka tanpa dapat restu
atau izin akan dibunuh, dan tak jarang hal ini terjadi. Biasanya polisi akan
menangkap mereka pada awalnya, namun beberapa saat sesudahnya mereka dibebaskan
kembali sehingga hal nakal ini menimbulkan kebencian dimata orang dayak pada
umumnya, dan karena banyak orang Madura yang umunya lebih pandai mencari uang,
maka banyak wanita-wanita lebih condong kepada mereka, dan hal ini juga
menimbulkan kekesalan dimata anak-anak mudanya. Hampir semua sektor dikuasai
oleh orang-orang madura, dan monopoli ekonomi yang diberlakukan mereka membuat
sakit hati warga dayak seperti sulitnya bahan sembako didapat untuk orang-orang
dayak. Dan akumulasi permasalahan inilah yang membuat suatu pertikaian kecil,
yang kemudian merambat menjadi pertikaian besar.
Pada
awalnya pertikaian kecil itu dipicu oleh judi, lalu merambat dan menimbulkan
kemarahan pada kaum Madura awalnya, sehingga orang-orang dayak yang menghuni
sampit diburu dan warga-warga lain pergi mengungsi untuk menghindari kerusuhan
ini. Kemudian pada tanggal 20 Februari 2001, warga dayak datang dengan jumlah
yang lebih besar memburu orang-orang Madura dan menghabisi banyak nyawa disana,
kebanyakan dari mereka dipenggal, rumah-rumah dibakar, hingga warga madura yang
selamat lari ke hutan atau keluar daerah secepatnya. Tak sampai disitu rupanya
penyerangan pun meluas dari kota Sampit kedaerah sekitarnya, sedangkan perlawan
warga madura mulai menurun pada saat itu. Dan dari sanalah “Tragedi Sampit”
bermulai
Perang yang masih menyisahkan
penderitaan dan trauma yang mendalam ini membawa dampak yang besar hingga saat
ini, tak jarang orang dari keluar atau bepergian dari daerah kalimantan, entah
dia adalah warga asli atau pendatang pasti ditanya “dari Sampit ya mas/Mbak?”
itulah biasanya yang terlontar dari orang-orang yang pernah mendengar tragedi
ini, terkadang ketika melihat atau mengetahui orang kalimantan mereka akan
ketakutan, atau berkata lembut/sopan tiba-tiba. Mungkin tragedi besar yang
terjadi 10 tahun lalu sulit untuk dilupakan oleh masyarakat luas mengingat
jumlah korban dalam peristiwa itu mencapai lebih dari 1000 orang, ditambah banyaknya kabar
orang-orang ini (dayak) memiliki Animisme yang tinggi yang bisa mengetahui dan
membedakan suku madura dan suku lainya dan hal-hal aneh lainya. Selain itu
kemungkinan kecil apabila suku dayak dengan suku madura bisa bersatu lagi dalam
jangka waktu yang panjang, dan yang lebih parah lagi permusuhan akan diwariskan
dari generasi ke generasi berikutnya.
Bermula
dari sinilah mungkin kita bisa belajar dalam kehidupan ini, bahwa istilah “Dimana Bumi di Pijak, Di situ Langit
Di Junjung” memang perlu diterapkan dan sikap saling menghormati tentunya.
Pertikaian darah adalah pertikaian yang sulit diobati dalam jangka waktu yang
lama, karena ‘darah yang tumpah, tidak akan pernah tertidur’. Sebenarnya masih banyak pergolakan yang
timbul seperti tragedi ini, namun hal yang perlu kita petik dari sini ialah
pentingnya saling menghormati dan menolong antar sesama, dan menjaga etika
ketika berhubungan dengan penduduk asli, sebab kita tidak pernah tahu bagaimana
pola kehidupan masyarakat yang kita diami pada awalnya, oleh karena itu
pendekatan penting untuk dilakukan untuk mencegah pergolakan suku yang satu
dengan suku yang lain.
Ditulis Oleh Adrin Ma’ruf,
1009005080, smster IV B,UNIVERSITAS UDAYANA
Langganan:
Postingan (Atom)
Sifat kimia dan fisik telur
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telur adalah salah satu bahan makanan hewani yang dikonsumsi selain daging, ikan dan susu...
-
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telur adalah salah satu bahan makanan hewani yang dikonsumsi selain daging, ikan dan susu...
-
H owned lamb fattening Bunyamin always interested consumers. The key, sheep should look healthy and clean. Cimande village, Bogor regency...