Minggu, 18 Maret 2012

Faktor resiko kejadian flu burung


Tugas
MK. Ilmu Kesehatan Ternak

Faktor resiko kejadian flu burung pada peternakan unggas rakyat komersial




Oleh :
Zaenal Abidin
(1007105050)

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2012


ABSTRACT

MUHLIS NATSIR. Risk Factors Avian Influenza In Poultry Farming of Commercial Sidrap Regency Year 2007-2009. (Supervised by A. Zulkifli Abdullah and Ridwan M. Thaha).
 Bird flu or Avian Influenza (AI) is a contagious disease that can infection all types of birds, humans, pigs, horses and dogs and is caused by Avian Influenza virus type A of the Orthomyxoviridae family. Bird flu virus is zoonosis and it has a high mutation rate, so that this disease has a social impact, economic and political big enough. 
This study aims to analyze some of the risk factors bird flu outbreak in commercial layer poultry farm in the District Sidrap years 2007-2009.  Research design used was analytical observasional Case Control Study. Research in April - May 2009. Elections sample purposively sampling of 136 poultry farm layer consisting of 68 sample cases as livestock and animal husbandry as 68 control samples. Data analyzed with the test Odds Ratio (OR) and logistic regression with convidence interval 95% (α = 0.05). 
Results of this research show that the breeder has knowledge OR 4.371 (CI = 2.089  - 9.144); environmental hygiene pen OR 2.460 (CI = 1.128  - 5.366); hygiene personnel cage OR 10.086 (CI = 4.182 - 24.327); interval enclosure OR 4.218 ( CI = 2.042 - 8.713); distance pen OR 2.962 (CI = 1.366 - 6.420) System maintenance is not contemporary OR 8.907 (CI = 3.907  - 18.407) and the existence of wild animals OR 1.436 (CI = 0.621 - 3.320). From the results of the research conclude that the personnel cage, cage environmental hygiene, hygiene of personnel cage, cage rest time, distance, and system maintenance shed that is not contemporary risk factors is a bird flu outbreak. Hygiene of personnel is the enclosure of most risk factors for bird flu outbreak. Biosekurity conducted in each period of maintenance to prevent the risk of transmission disease agents, and conducted further research on the mechanism for their role factor in the cause of the spread of bird flu virus, and socialization to the farm in order to perform decontamination personnel cage at the time of entry and exit enclosure.




Keywords: Avian Influenza, case control, people of a commercial poultry farm 






PENDAHULUAN
Avian Influenza (AI) adalah penyakit menular yang dapat menginfeksi semua jenis unggas, manusia, babi, kuda dan anjing dan disebabkan oleh virus Avian Influenza type A dari family Orthomyxoviridae. Secara umum, beberapa virus Avian Influenza dapat beradaptasi pada spesies unggas baru dan menyebabkan outbreak baik epidemik maupun endemik. Di Indonesia pertama kali dilaporkan mengalami wabah Avian Influenza  (AI) pada pertengahan tahun 2003 dan baru dinyatakan oleh pemerintah Indonesia pada tanggal 2 Februari 20043.  Menurut Darminto (2006),  AI bersifat zoonosis dan virus penyebabnya memiliki tingkat mutasi yang tinggi, sehingga penyakit ini memiliki dampak sosial, ekonomi dan politik yang cukup besar. Penyebaran AI berlangsung terus sampai sekarang. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mencegah dan memberantas penyebarannya, namun ternyata sulit sekali diberantas.
 Peternak unggas rakyat komersial di Propinsi Sulawesi Selatan mengalami kerugian sebagai dampak dari wabah AI. Walaupun kasus flu burung pada manusia di Kabupaten Sidrap belum ditemukan namun kematian unggas paling banyak terjadi di 10 kecamatan di Kabupaten Sidrap, karena di kabupaten ini populasi unggas komersial baik ayam petelur dan pedaging  terbesar di Sulawesi Selatan. Kasus AI di Sulawesi Selatan pertama kali dilaporkan terjadi sejak awal bulan Maret 2005 pada 6 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Wajo, Sidrap, Soppeng, Pinrang, Maros dan Pare-Pare dan sampai akhir 2005, 15 dari 23 kabupaten/kota dinyatakan tertular. Tahun 2006 bertambah menjadi 17 kabupaten/kota tertular, tahun 2007 menjadi 20 kabupaten/kota tertular. Sampai dengan Nopember 2008 semua kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dinyatakan sudah tertular AI
Berdasarkan data Dinas Peternakan Propinsi Sulawesi Selatan, populasi unggas yang terkena wabah AI selama tahun 2005 sebanyak 749.334 ekor, sedangkan kematian terjadi lebih dari 50% nya yaitu sebanyak 429.417 ekor (CFR = 57,31%). Selama tahun 2006 tidak terdapat kasus AI, sedangkan tahun 2007 terdapat kematian sebanyak 29.220 ekor dan tahun  2008 kematian sebanyak 2.447 ekor.


BAHAN DAN METODE
Desain Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan Case Control Study (studi kasus kontrol).  

Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lokasi peternakan unggas rakyat komersial khususnya peternakan ayam petelur yang ada di Kabupaten Sidrap pada bulan April sampai dengan Mei 2009.  Karena di kabupaten ini populasi unggas komersial baik ayam petelur dan pedaging  terbesar di Sulawesi Selatan. 


Populasi Dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah  peternakan ayam petelur rakyat komersial yang berada di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan. Sampel dalam penelitian ini terbagi dua yaitu sampel kasus dan kontrol. Sampel kasus yaitu peternakan ayam petelur rakyat komersial yang sedang atau pernah dilaporkan terkena AI, dan sampel kontrol dalam penelitian ini adalah peternakan ayam petelur rakyat komersial yang tidak pernah dilaporkan atau terkena AI.
Besar  sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan Tabel  Lamesshow,  dengan tingkat kemaknaan 5 %, OR=2, derajat kepercayaan (CI) 95%, sehingga jumlah  sampel kasus  diperoleh sebanyak 68 peternakan dan besaran sampel kontrol diambil dengan perbandingan 1:1 yaitu 68 peternakan Kontrol, sehingga jumlah sampel keseluruhan 136 peternakan. 
Metode Pengumpulan Data
Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan responden  dan observasi langsung. Data sekunder diperoleh dari berbagai buku-buku literatur, bulletin, jurnal penelitian, website internet serta bacaan lain yang erat kaitannya dengan penelitian ini. Analisis Data
Analisis data dilakukan untuk menguji hipotesis nol dengan menggunakan rumus Odds Ratio  dengan table 2x2. Analisis Univariat untuk mendapatkan gambaran umum dengan cara mendeskripsikan tiap-tiap variabel yang digunakan dalam penelitian.  Analisis Bivariat untuk melihat hubungan variabel independen dengan variabel dependen. Analisis Multivariat dengan menggunakan regresi logistik untuk menyeleksi variabel bebas yang paling berpengaruh terhadap kejadian flu burung.
HASIL 
Hubungan pengetahuan personil kandang, kebersihan lingkungan kandang, kebersihan personil kandang, waktu istirahat kandang,jarak kandang, sistem pemeliharan, dan keberadaan hewan liar dapat dilihat pada tabel 1, berdasarkan pengetahuan personil kandang dapat dilihat bahwa 68 responden peternakan yang mengalami flu burung terdapat 39 peternakan (57,4%)memiliki pengetahuan yang kurang dibandingkan responden  yang memilki pengetahuan yang cukup. Hasil uji OR (Odds Ratio) diperoleh nilai OR= 4,371 dengan CI 95%, dengan nilai LL= 2,089 dan UL= 9,144, berarti peternakan  yang personil kandangnya memiliki pengetahuan kurang  berisiko 4,371 kali lebih besar untuk terjadinya flu burung  dibandingkan pemilik peternakan  yang memiliki pengetahuan yang cukup.
Risiko kebersihan lingkungan kandang  terhadap kejadian flu burung analisis distribusi silang antara kebersihan lingkungan kandang dengan kejadian flu burung menunjukkan bahwa dari 68 responden peternakan yang mengalami flu burung terdapat 55 peternakan (80,9%) yang lingkungan sekitar kandangnya kurang bersih dibandingkan responden peternakan yang lingkungan sekitar kandangnya bersih. Berdasarkan uji Odds Ratio (OR) diperoleh nilai OR= 2,460, dengan nilai LL=1,128 dan UL= 5,366, berarti peternakan  yang lingkungan sekitar kandangnya kurang bersih berisiko 2,460 kali lebih besar untuk terjadinya flu burung  dibandingkan peternakan yang lingkungan sekitar kandangnya bersih.
Risiko kebersihan personil kandang  terhadap kejadian flu burung, menunjukan  bahwa dari 68 responden peternakan yang mengalami flu burung terdapat 39 peternakan (57,4%) yang personil  kandangnya kurang menjaga kebersihan atau tidak melakukan desinfeksi pada saat masuk  atau keluar kandang dibandingkan responden peternakan yang personil kandangnya menjaga kebersihan atau melakukan desinfeksi pada saat masuk atau keluar kandang. Berdasarkan uji Odds Ratio (OR) diperoleh nilai OR= 10.086, dengan nilai LL=4,182 dan UL=24,327, berarti peternakan  yang personil  kandangnya kurang menjaga kebersihan atau tidak melakukan desinfeksi pada saat masuk atau keluar kandang berisiko 10.086 kali lebih besar untuk terjadinya flu burung. 
Risiko waktu istirahat kandang  terhadap kejadian flu burung, menunjukkan bahwa dari 68 responden peternakan yang mengalami flu burung terdapat 41 peternakan (60,3%) yang waktu istirahat kandangnya kurang dari 3 bulan dibandingkan responden peternakan yang waktu istirahat kandangnya ≥ 3 bulan. Dari hasil uji statistik nilai OR diperoleh 4,218,dengan nilai LL = 2,0242 dan UL=8,713, berarti peternakan  yang waktu istirahat kandangnya kurang dari 3 bulan  berisiko 4,218 kali lebih besar untuk terjadinya flu burung
Risiko jarak kandang  terhadap kejadian flu burung,  terdapat 55 peternakan (80,9%) yang jarak kandangnya kurang dari 7 meter dibandingkan responden peternakan yang jarak kandangnya ≥ 7 meter. Dari hasil uji statistic nilai OR (odds Ratio) sebesar 2,962 dengan nilai LL=1,366 dan nilai UL=6,420, berarti peternakan yang jarak kandangnya kurang dari 7 meter  berisiko 2,962 kali lebih besar untuk terjadinya flu burung. Risiko sistem pemeliharaan  terhadap kejadian flu burung,  terdapat 53 peternakan (77,9%) yang  sistem pemeliharaannya tidak seumur dibandingkan responden  peternakan yang sistem pemeliharaannya satu umur. Dengan nilai OR sebesar 8,907, dengan nilai LL=3,907 dan UL=18,407, berarti peternakan  yang sistem pemeliharaannya tidak seumur berisiko 8,907 kali lebih besar untuk terjadinya flu burung.
Risiko keberadaan hewan liar terhadap kejadian flu burung,  terdapat 16 peternakan
(23,5%) terdapat hewan liar dikandang dibandingkan peternakan  yang tidak ditemukan hewan liar di kandang sebanyak 52 peternakan (76,5%) sedangkan dari 68 responden peternakan yang tidak mengalami flu burung  sebanyak 12 peternakan (17,6%) ditemukan hewan liar di kandang dibandingkan peternakan yang tidak ada hewan liar di kandang sebanyak 56 peternakan (82,4%). Dengan nilai OR= 1,436, dengan nilai LL= 0,621 dan UL=3,320, berarti keberadaan hewan liar di kandang bukan merupakan faktor risiko kejadian flu burung
Hasil uji analisis secara multivariat yang menggunakan regresi logistic pada tabel 2 untuk keenam  variabel yang diikutkan dalam analisis multivariat terlihat bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian flu burung adalah  kebersihan personil kandang. 

PEMBAHASAN
Faktor Risiko Kejadian Flu Burung Pada Peternakan Unggas Rakyat Komersial. Pengetahuan merupakan domain  yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku dan tindakan seseorang oleh karena itu pengetahuan masyarakat dalam kaitannya dengan penyebaran penyakit flu burung sangat penting untuk melihat sejauh mana pengetahuan mereka tentang penyebab, cara penularan  dan pencegahan penyakit flu burung agar terhindar kemungkinan terjangkit penyakit flu burung.
Faktor kebersihan  lingkungan kandang dan personil kandang  adalah salah satu bagian biosekuriti dan merupakan aspek potensial yang mempengaruhi kemungkinan masuknya agen penyakit ke dalam peternakan. Penyebaran virus flu burung antar kandang dapat dikurangi dengan selalu menjaga kebersihan kandang beserta peralatannya, apalagi jika selalu menggunakan desinfektan yang tepat. Pergerakan orang seperti peternak, Dokter Hewan, maupun tamu di peternakan merupakan salah satu faktor penyebaran virus flu burung antar kandang. Menurut Marangon dan Capua (2005), analisis yang dilakukan terhadap kasus wabah HPAI di Italia selama tahun 1999/2000 menunjukkan bahwa 9,4% penularan secara tidak langsung karena pertukaran karyawan, alat-alat  dan lain-lain.
.
 Faktor waktu istirahat kandang sangat efektif untuk mengurangi populasi mikroba yang ada. Mikroba pada dasarnya tidak dapat bertahan lama di lingkungan, sebab untuk perkembangbiakannya memerlukan hospes (induk semang). Virus flu  burung membutuhkan hospes hidup. Peternak unggas rakyat di Kabupaten Sidrap melakukan istirahat kandang setelah panen atau afkir kebanyakan hanya untuk membersihkan kandangnya  saja sebelum diisi kembali, setelah dirasa cukup bersih biasanya peternak langsung memasukkan ternak untuk periode berikutnya untuk menghemat waktu dan mengurangi kerugian sehingga waktu istirahat kandang relatif sangat pendek. Peternak mengistirahatkan kandangnya agak lama jika ada alasan khusus seperti sulitnya mendapatkan bibit atau saat harga dipasaran lagi tinggi. Padahal istirahat kandang sangat efektif mengurangi populasi mikroba yang ada. Faktor jarak antar kandang di peternakan penting untuk diperhatikan karena semakin dekat jarak antar kandang juga akan meningkatkan risiko tertular penyakit jika peternakan tetangga terdekat terkena penyakit. Sebuah penelitian di Italia menunjukkan bahwa 26,2% kejadian flu burung dijumpai pada lingkungan dalam radius satu kilometer di seputar peternakan terserang. Ternak unggas dalam radius 5-6 kilometer dari lokasi positif flu burung harus terus diwaspadai.  Sedangkan IEC dalam sebuah  workshop  di Hanoi menyatakan bahwa virus flu burung dapat ditularkan oleh burung atau hewan liar dalam radius 10 km dari lokasi positif flu burung, sehingga dalam radius tersebut dianggap sebagai zona tertular yang harus diwaspadai.Faktor sistem pemeliharaan tidak satu umur merupakan salah satu aspek potensial yang mempengaruhi kemungkinan penyebaran penyakit flu burung dalam peternakan.  Salah satu langkah untuk penanggulangan penyebaran virus flu burung antar kandang adalah dengan menerapkan biosekuriti yang ketat, sistem pemeliharaan all-in all-out, selalu menjaga kebersihan kandang dan petugas kandang beserta peralatannya, serta menggunakan desinfektan yang tepat. Pergerakan keluar-masuknya alat angkut seperti truk dan mobil pengangkut ternak atau produknya serta boks kemasan harus diwaspadai karena dapat sebagai media penularan virus flu burung, terutama jika alat angkut tersebut selain digunakan di dalam farm juga digunakan keluar farm seperti di pasar, farm atau wilayah lain yang tertular. Pada penelitian ini faktor keberadaan hewan liar  bukan merupakan faktor risiko kejadian flu burung karena menurut informasi peternak tidak dijumpai jalur migrasi burung liar antar daerah yang melewati Kabupaten Sidenreng Rappang dimana keberadaan hewan liar terutama burung migran menjadi salah satu komponen penting dalam penyebaran virus Flu burung. Disamping itu letak geografi dan morfologi Kabupaten Sidrap  yang pegunungan berbukit dengan tanaman/hutan lebat  menjadikan tempat yang cocok bagi burung dan hewan liar lainnya untuk tinggal menetap di sana tanpa harus bermigrasi ke areal terbuka yang menjadi lokasi peternakan sehingga hewan liar tersebut tidak bebas masuk keluar area perkandangan disamping itu juga kebiasaan para peternak menggunakan obat pembasmi hama seperti tikus dan lain-lain sehingga dapat menekan penyebaran flu burung.
 Faktor Yang Berisiko Terhadap Kejadian Flu Burung Di Peternakan Unggas Rakyat Komersial.  Pada analisis multivariat variabel kebersihan personil kandang merupakan variabel yang paling dominan terhadap kejadian flu burung di peternakan unggas rakyat komersial  di Kabupaten Sidrap  dengan nilai OR=11,553. Titik kritis yang menjadi perhatian dalam penanggulangan flu burung antara lain peningkatan biosekuriti terhadap semua yang berkaitan dengan ternak termasuk petugas kandang, kontrol terhadap burung dan hewan liar termasuk produk-produknya.  Penelitian lain menunjukkan bahwa virus AI dapat menyebar masuk ke kandang melalui petugas kandang, apalagi jika tidak menerapkan biosekuriti yang ketat, untuk itu sangat  perlu sekali selalu menjaga kebersihan petugas kandang beserta peralatannya

.


KESIMPULAN
Peternakan yang memiliki pengetahuan personil kandang yang kurang berisiko 4,371 kali lebih besar untuk terjadinya flu burung, lingkungan sekitar kandang kurang bersih berisiko 2,460 kali lebih besar untuk terjadinya flu burung, kebersihan personil kandang yang tidak melakukan desinfeksi atau kurang menjaga kebersihan pada saat masuk atau keluar kandang berisiko 10,086 kali lebih besar untuk terjadinya flu burung, waktu istirahat kandang kurang dari  tiga  bulan  berisiko 4,218 kali lebih besar untuk terjadinya flu burung,  jarak kandang dengan kandang lainnya kurang dari tujuh meter berisiko 2,926 kali lebih besar untuk terjadinya flu burung,  sistem pemeliharaan ayam petelur yang tidak seumur berisiko 8,907 kali lebih besar untuk terjadinya flu burung,  keberadaan hewan liar bukan merupakan faktor risiko untuk terjadinya flu burung. Disarankan agar dilakukan biosekuriti dalam setiap periode pemeliharaan untuk mencegah risiko penularan agen penyakit, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme peranan masing-masing faktor penyebab dalam penyebaran virus flu burung, serta perlu  disosialisasikan  ke peternakan untuk melakukan desinfeksi personil kandang pada saat masuk maupun keluar kandang.




DAFTAR PUSTAKA
1.  Alexander, D.J. 1982. Avian Influenza. Recent Developments. Vet Bull 12, 341-359.
2.  Hepworth, R., and  Lenten, B., 2006. Avian Influenza and Wild Bird: What is their Actual
Role in the Spread of the Viruses,  International Scientific Task Force on Avian Influenza,
www.aiweb.info.
3.  WHO, 2006. H5N1 Avian Influenza : Timeline, Previous events in Asia.
4.  Darminto, 2006. Mengenal Flu Burung dan Strategi Pengendaliannya,  An Introduction to  Avian
Influenza and it’s Control Strategy.
5.  Anonimous, 2008. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Propinsi  Sulawesi Selatan Tahun
2008.
6.  Effendy, N, 2007. Survei Cepat Karakteristik dan Perilaku Masyarakat Terhadap Flu Burung
Dengan Sistem Informasi Geografis Di Desa Bulu Cenrana Kab.Sidrap. Skripsi.  Fakultas
Kesehatan Masyarakat UNHAS. Makassar.
7.  Anonimous, 2004. Guiding Principles for Highly Pathogenic Avian Influenza Surveillance
and Diagnostic Networks in Asia,  FAO Expert Meeting on Surveillance and Diagnosis of
Avian Influenza in Asia, Bangkok.
8.  Marangon, S., and Capua, I., 2005., Control of AI in Italy : from “Stamping-out” Strategy to
Emergency and Prophylactic vaccination,  Proc. International Conf on Avian Influenza,
Paris, OIE.
9.  Power, C., 2005. The Source and Means of Spread of the Avian Influenza Virus in the Lower
Fraser Valley of British Columbia During an Outbreak in the Winter of 2004, An Interim
Report, canadian Foot Inspection Agency.
10.  Anonimous, 2006c, Avian Infleunza Backgrounder, American Veterinary Medical Association.
11.  Anonimous, 2005,  Vietnam Avian Influenza/Pandemic Preparedness Communication Workshop,
IEC Working Group. 

Sabtu, 17 Maret 2012

TRAGEDI


Tragedi 20 Februari dan Dampaknya Hingga Saat Ini

            Indonesia memiliki ragam budaya yang khas dengan etniknya masing-masing, kekayaan dan keberagaman ini menjadi simbol utama dari Bangsa Indonesia. Dari Pulau Sabang sampai Merauke, Indonesia memiliki suku yang berbeda-beda dengan latar budaya yang bervariasi seperti suku sunda, jawa, madura, bugis, banjar, aceh, bali, dan lain-lain.
            Dari kekayaan inilah yang membuat tiap suku harus saling berbaur sama lain, dalan satu keutuhan Bangsa Indonesia. Tidak jarang suku-suku yang berpindah dari tempat satu ke tempat yang lain, untuk mencari peruntungan di tempat lain yang dianggap mereka lebih baik dari tempat yang ditinggali sebelumnya. Sehingga terbentuklah perluasan suku dan budaya oleh suku yang berpindah tersebut beserta adat yang dimilikinya.
            Salah satu suku yang sering merantau dari tempat satu ke tempat yang lain adalah suku Madura. Suku Madura adalah salah satu suku yang banyak berpindah dari tempat satu ke tempat yang lain sama halnya seperti suku jawa dan bugis yang banyak merantau. Dan dari sinilah integritas suku Madura muncul di tempat yang didatanginya. Misalnya seperti Kalimantan, dalam penyebaranya populasi suku Madura yang mendiami pulau Kalimantan cukup banyak terutama di wilayah Kalimantan Selatan, Tengah, dan Timur. Banyaknya suku ini juga banyak membawa pengaruh ditempat yang di datanginya. Seperti pergolakan ekonomi, budaya, adat, suku, dan lain-lain. Munculnya Suku Madura di Kalimantan telah membawa dampak postif dan negatif yang  besar, hingga menimbulkan catatan sejarah atas perkembangan ekonomi di Pulau Kalimantan dan tragedi yang menimpa kota Sampit 10 tahun yang lalu, atau yang lebih dikenal dengan istilah “Perang Sampit”.
            Penyebab tragedi ini adalah adanya persilisihan paham antara orang Madura dengan suku Kalimantan yaitu Dayak, seperti bagi masyarakat Madura apabila tidak membawa celurit itu sombong, sedangkan apabila membawa celurit bagi masyarakat dayak itu sombong. Kemudian pemicu pengalihan tanah yang merugikan masyarakat Dayak yang membuat sakit hati warga Dayak sendiri seperti pada kasus ini, orang Madura datang kepada orang dayak untuk meminjam tanah untuk suatu keperluan, dan orang dayak pun mengijinkannya hingga kemudian tanah itu digunakan untuk membangun rumah atau ditanami sayur-sayuran dan keperluan lainya, namun ketika tanah itu dipinta kembali malah orang yang meminjamkan tadi diusir dengan tidak hormat, walaupun mereka sudah menunjukan surat tanah yang sah, namun tetap saja tanah tidak bisa dikembalikan. Selain itu karena bertambahnya jumlah penebang pohon membuat warga dayak terpaksa berpindah ke pedalaman, kemudian persaingan etnis dalam perdagangan dan usaha banyak yang di kuasai oleh orang madura seperti pelabuhan, konon orang yang masuk ketempat mereka tanpa dapat restu atau izin akan dibunuh, dan tak jarang hal ini terjadi. Biasanya polisi akan menangkap mereka pada awalnya, namun beberapa saat sesudahnya mereka dibebaskan kembali sehingga hal nakal ini menimbulkan kebencian dimata orang dayak pada umumnya, dan karena banyak orang Madura yang umunya lebih pandai mencari uang, maka banyak wanita-wanita lebih condong kepada mereka, dan hal ini juga menimbulkan kekesalan dimata anak-anak mudanya. Hampir semua sektor dikuasai oleh orang-orang madura, dan monopoli ekonomi yang diberlakukan mereka membuat sakit hati warga dayak seperti sulitnya bahan sembako didapat untuk orang-orang dayak. Dan akumulasi permasalahan inilah yang membuat suatu pertikaian kecil, yang kemudian merambat menjadi pertikaian besar.
            Pada awalnya pertikaian kecil itu dipicu oleh judi, lalu merambat dan menimbulkan kemarahan pada kaum Madura awalnya, sehingga orang-orang dayak yang menghuni sampit diburu dan warga-warga lain pergi mengungsi untuk menghindari kerusuhan ini. Kemudian pada tanggal 20 Februari 2001, warga dayak datang dengan jumlah yang lebih besar memburu orang-orang Madura dan menghabisi banyak nyawa disana, kebanyakan dari mereka dipenggal, rumah-rumah dibakar, hingga warga madura yang selamat lari ke hutan atau keluar daerah secepatnya. Tak sampai disitu rupanya penyerangan pun meluas dari kota Sampit kedaerah sekitarnya, sedangkan perlawan warga madura mulai menurun pada saat itu. Dan dari sanalah “Tragedi Sampit” bermulai
            Perang yang masih menyisahkan penderitaan dan trauma yang mendalam ini membawa dampak yang besar hingga saat ini, tak jarang orang dari keluar atau bepergian dari daerah kalimantan, entah dia adalah warga asli atau pendatang pasti ditanya “dari Sampit ya mas/Mbak?” itulah biasanya yang terlontar dari orang-orang yang pernah mendengar tragedi ini, terkadang ketika melihat atau mengetahui orang kalimantan mereka akan ketakutan, atau berkata lembut/sopan tiba-tiba. Mungkin tragedi besar yang terjadi 10 tahun lalu sulit untuk dilupakan oleh masyarakat luas mengingat jumlah korban dalam peristiwa itu mencapai lebih dari  1000 orang, ditambah banyaknya kabar orang-orang ini (dayak) memiliki Animisme yang tinggi yang bisa mengetahui dan membedakan suku madura dan suku lainya dan hal-hal aneh lainya. Selain itu kemungkinan kecil apabila suku dayak dengan suku madura bisa bersatu lagi dalam jangka waktu yang panjang, dan yang lebih parah lagi permusuhan akan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya.
            Bermula dari sinilah mungkin kita bisa belajar dalam kehidupan ini, bahwa  istilah “Dimana Bumi di Pijak, Di situ Langit Di Junjung” memang perlu diterapkan dan sikap saling menghormati tentunya. Pertikaian darah adalah pertikaian yang sulit diobati dalam jangka waktu yang lama, karena ‘darah yang tumpah, tidak akan pernah tertidur’.  Sebenarnya masih banyak pergolakan yang timbul seperti tragedi ini, namun hal yang perlu kita petik dari sini ialah pentingnya saling menghormati dan menolong antar sesama, dan menjaga etika ketika berhubungan dengan penduduk asli, sebab kita tidak pernah tahu bagaimana pola kehidupan masyarakat yang kita diami pada awalnya, oleh karena itu pendekatan penting untuk dilakukan untuk mencegah pergolakan suku yang satu dengan suku yang lain.

Ditulis Oleh Adrin Ma’ruf, 1009005080, smster IV B,UNIVERSITAS UDAYANA

Jumat, 16 Maret 2012

Kebutuhan daging di indonesia sekarang dan masa depan

Bab 1
Pendahuluan
1.1  Latar belakang
Konsumsi daging di Indonesia masih rendah,sedangkan kebutuhan tinggi sehingga terdapat peluang untuk usaha peternakan ruminansia. Ternak ruminansia besar yang utama adalahsapi perah, potong dan kerbau. Produk ternak ruminansia umumnya terdiri atas daging, susu, kulit, dan bulu. Kontribusi peternakan sebagai sumber protein hewani, sumber tenaga, pemanfaatan hasil limbah pertanian, hasil ikutan pertanian, dan menyerap tenaga kerja.Untuk dapat mengelola usaha peternakan perlu menguasai dasar budidaya. Pengetahuan tentang identifikasi ternak, pemberian pakan,fasilitas, pemcegahan penyakit dan pengelolaan dengan peinsip good management practices .
karena kebutuhan daging makin tahun meningkat dan kebutuhan daging selalu di cari untuk memenuhi kebutuhan pangan.maka peranan petrnakan untuk melakukan suatu aspek untuk membuat peternakan yang berproduktifitas untuk kebutuhan hidup.

1.2  Maksud dan tujuan
Untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk mengkonsumsi daging. Agar
manusia dapat meningkatkan gizi.

1.3  manfaat
agar dapat mengetahui peranan peternakan untuk meningkatkan produktifitas ternak potong.


Bab II
Kebutuhan daging di indonesia sekarang dan masa depan

Kebutuhan akan konsumsi daging sapi setiap tahun selau meningkat. Sementara itu pemenuhan akan kebutuhan selau negative, artinya jumlah permintaan lebih tinggi daripada peningkatan sebagai konsumen.
Di Indonesia dan juga di negar-negara berkembang lainya,sebagian besar ternak potong berada dimasyarakat peternak.
faktor yang dapat mempengaruhi kinerja produksi ternak potong, faktor tersebut adalah :
·         Faktor luar, meliputi : pengelolaan (manusia), efek langsung iklim, pakan ternak (manusia), kesehatan dan penyakit hewan (manusia)
·         Faktor dalam, meliputi : genetik, jenis kelamin dan asal usul (pedigree) ternak tersebut.
Sehingga yang diharapkan disini adalah bagaimana peranan dari kualitas manusia itu sendiri untuk meminimalisir pengaruh alam yang berdampak negatif untuk dapat meningkatkan produksi ternak potong.
Rata-rata produksi dan konsumsi daging sapi di Indonesia selama periode 1990 – 1999 masing-masing 193,7 ribu ton dan 202,4 ribu ton, sehingga terjadi excess demand sebesar 8,7 ribu ton per tahun (4,13% dari total konsumsi) yang didatangkan dengan cara mengimpor dari beberapa negara seperti Australia,Selandia Baru, dan lain sebagainya.Produksi tertinggi dicapai pada tahun 1997 yaitu sebanyak 214 ribu ton, dan pada tahun yang sama juga terjadi tingkat konsumsi dan impor paling tinggi yaitu berturut-turut 237 ribu ton dan 23 ribu ton (9,70% dari total konsumsi).Selama periode 1990 – 1999, produksi daging sapi di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 2,41 persen per tahun. Demikian juga pada periode yang sama jumlah konsumsi baik per kapita maupun total meningkat masing-masing 2,08 persen dan 2,66 persen per tahun. Peningkatan konsumsi yang relatif lebih tinggi dari peningkatan produksi menyebabkan jumlah impor daging mengalami peningkatan yang cukup tajam yaitu 21,94 persen per tahun.Kondisi di atas menunjukkan bahwa tanpa adanya upaya untuk memacu produksi daging sapi dalam negeri, maka ketergantungan Indonesia akan daging impor semakiin tinggi. Apalagi setelah krisis ekonomi (tahun 1997) produksi daging sapi Indonesia terus menurun. Pada tahun 1997 produksi daging sapi Indonesia 214 ribu ton dan pada tahun 1998 turun menjadi 208 ribu ton dan terus menurun pada tahun 1999 hanya sebesar 188 ribu ton. Walaupun sebenarnya di sisi konsumsi pun mengalami penurunan juga, akan tetapi adanya gejala semakin membaiknya perekonomian Indonesia akan menyebabkan meningkatnya daya beli masyarakat,sehingga pada akhirnya berdampak pada meningkatnya jumlah permintaan/konsumsi terhadap komoditas tersebut.
Setiap tahun, Indonesia memerlukan sebanyak 700 hinggga 800 ribu ekor sapi yang didatangkan dari Australia untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging. Sekitar 350 ribu ekor dalan bentuk sapi hidup, selebihnya dalam bentuk daging. Demikian yang diungkapkan Direktur Budidaya Ternak Ruminansia dari Direktorat Jenderal Peternakaan Departemen Pertanian RI Ir Fauzi Luthan, usai menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional ‘Peternakan dan Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan. Menurut Fauzi Luthan, saat ini Indonesia belum swasembada daging sapi karena 28 persen kebutuhan daging sapi masih impor dari Australia. Dirinya mengatakan, paling tidak untuk swasembada daging sapai minimal kebutuhan impor hanya 10 persen. Pemerintah sudah menargetkan tahun 2010 kita sudah swasembada daging sapi, dan program ini sudah dicanangkan sejak dua tahun lalu, dimulai dengan program reguler. Diakui Fauzan, kendala yang dihadapi dalam mencapai target swasembada daging sapi tersebut, kecilnya peningkatan kelahiran sapi induk. Di Indonesia menurut Fauzan tingkat kelahiran ternak sapi induk relatif masih sangat kecil, sekitar 15,8 persen dari 3, 1 juta ekor sapi induk yang ada Jika ini bisa kita tingkatkan sekitar 60-70 persen maka kebutuhan akan swasembada daging sapi akan segera tercapai. Salah satu upaya yang akan dilakukan, kata Fauzan, diantaranya melakukan penyuluhan dan pembimbingan kepada peternak, menyiapkan inseminasi buatan yang lebih baik dan melakukana penangangan kesehatan terhadap gangguan reproduksi ternak. Yang terjadi selama ini, program inseminasi buatan yang dianggap kurang berhasil, padahal ternaknya yang kurang siap dengan adanya gangguan reproduksi. Maka dari itu, kata Fauzan, Deptan setidaknya masih membutuhkan sebanyak 10 ribu tenaga penyuluh pertanian kontrak termasuk di dalamnya tenaga peternakan yang difokuskan pada daerah sentra sapi potong dan sapi perah.
Biar kebutuhan daging di indonesia tidak lagi impor karena untuk kemajuan gizi di masa sekarang dan masa depan di indonesia.ada 18 provinsi yang difokuskan, diantaranya Aceh, Sumut, Sumbar, Sumsel, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, Bali, NTB, NTT, Sulsel, Sultra, Sulteng, Kalsel dan Kalbar.
Mulai tahun 2008 kita akan menerapkan program percepatan di daerah–daerah yang memiliki induk populasi ternak dalam jumlah besar, ini yang kita push (dorong) peningkatan kelahirannya dengan cara meningkatakan jumlah bantuan pejantan unggul, inseminasi buatan, dan penanganan kesehatan reproduksi.
Menuju Swasembada Daging 2010
Rencana pemerintah untuk mewujudkan swasembada daging di tahun 2010 terlihat sebagai sebuah perencanaan yang mungkin sulit dicapai. Hal ini terlihat dari masih besarnya tingkat impor daging sekarang ini yang dilakukan pemerintah dan belum siapnya masyarakat kita yang berkonsentrasi dalam peternakan.
Namun, meningkatnya pertumbuhan peternakan-peternakan feedlot dewasa ini memberi secercah harapan untuk terpenuhinya rencana swasembada daging 2010 tersebut. Usaha feedlot yang tumbuh sebagai sebuah peternakan rakyat adalah merupakan jalan yang sangat tepat, karena apabila konsep peternakan digagas dan dibangun dari pondasi di lingkup masyarakat maka secara tidak langsung akan ikut memperkokoh peternakan-peternakan besar dan ekonomi Indonesia secara umum.
Ekonomi rakyat akan terangkat, segala permasalahan akan dapat diselesaikan secara mudah dengan kerjasama dalam sebuah kelompok, dan peternak akan lebih mudah mencari dan mendapatkan bantuan modal bagi penguatan usaha peternakannya.
Tentu saja kemudian pelaksanaan dari ini semua harus dibarengi dengan tersedianya bibit ternak yang berkualitas. Inilah kemudian yang menjadi tugas para peternak pembibitan. Peternakan pembibitan dalam lingkup ini hendaknya juga harus dibangun dari kalangan masyarakat kecil dan menengah dahulu. Saat ini telah bermunculan di berbagai tempat suatu pusat kelompok peternakan pembibitan milik rakyat atau lebih dikenal dengan istilah Village Breeding Center (VBC).
Dengan adanya VBC ini peternak-peternak yang mempunyai indukan akan lebih mudah dalam mendapatkan straw dari pejantan berkualitas, terjamin mutunya. Kemudian apabila menurunkan anakm secara langsung akan mudah dilakukan recording sehingga akan mendukung program pemerintah dalam hal kontrol dan pengawasan perkembangan populasi bangsa suatu ternak. Peternak pun kemudian akan mudah memasarkan bibit yang dihasilkan dalam peternakannya.
Kedua program, yaitu peternakan potong rakyat dan peternakan pembibitan rakyat inilah yang kemudian dapat mendorong tercapainya program pemerintah untuk swasembada daging di tahun 2010 apabila dalam pelaksanaannya dilakukan secara sinkron dan kontinyu.


Bab III
Berbagai jenis ternak sebagai sumber daging


Sapi
Sapi yang dikembangkan adalah jenis Sapi Bali. Jenis ini adalah salah satu komoditi unggulan yang memilki pasar domestik yaitu: DKI Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi dan Papua serta pasar ekspor yaitu: Hongkong, Singapura, Malaysia, Timor Leste dan negara-negara ASEAN lainnya.
Pemerintah Provinsi NTB telah merintis pengembangan kawasan agribisnis berbasis Sapi potong di setiap kabupaten. Hal ini dimaksudkan agar dapat dihasilkan Sapi bibit berkualitas ekspor secara kontinyu antara 1.500 – 2.000 ekor pertahun per lokasi kawasan.
Produksi Sapi potong rata-rata sebanyak 61.000 ekor per tahun. Hasil produksi tersebut untuk memenuhi konsumsi lokal sekitar 43.900 ekor (72 %) dan Rumah Potong Hewan (RPH) sebanyak 6.100 ekor (10 %).Surplus hasil produksi Sapi potong setahun sekitar 11.000 ekor (18%). Adapun populasi Sapi sekitar 419.569 ekor, 43 % berada di pulau Sumbawa dan 57 % di pulau Lombok

Babi
Populasi Babi pada tahun 2003, sebanyak 31.689 ekor. Lokasi kawasan pengembangan ternak Babi umumnya berada di permukiman masyarakat Hindu Bali, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 15 % per tahun. Jenis Babi yang dikembangkan adalah Babi lokal dan hasil persilangan. Produksi bibit lebih kurang 15.000 ekor dan jantan 12.200 ekor. Pemasaran Babi memiliki daya saing pasar cukup bagus terutama dipasar lokal, Bali dan Papua.

Kerbau
Kerbau di NTB memiliki keunggulan dan daya saing pasar yang hampir sama dengan ternak sapi.Jenis Kerbau yang dikembangkan adalah jenis Kerbau Lumpur, karena mempunyai kemampuan beradaptasi yang cukup bagus terhadap lingkungan (iklim, pakan dan pengangkutan). Populasi Kerbau pada tahun 2003 tercatat sebanyak 161.359 ekor, (83,20 % diantaranya berada di pulau Sumbawa).
Kuda
Jenis Kuda yang dikembangkan adalah Kuda Sumbawa, umumnya digunakan untuk angkutan cidomo, Kuda pacuan dan ternak potong. Populasi ternak Kuda sebanyak 73.623 ekor.Produksi Kuda potong lebih kurang 7.400 ekor per tahun dan Kuda bibit sekitar 5.200 ekor per tahun.Komoditi ternak Kuda umumnya dipasarkan di pasar lokal. Hanya 30 % dipasarkan ke luar daerah terutama Jawa Timur. Sedangkan Kuda penghasil susu masih merupakan ternak yang spesifik dan hanya terdapat di Kabupaten Dompu dan Bima.

Kambing

           
Sentra pengembangan ternak Kambing adalah di daerah lahan kering, umumnya di Pulau Sumbawa dan beberapa wilayah kecamatan di Pulau Lombok seperti Sakra, Keruak, Pringgabaya, Gangga dan Bayanss. Populasi ternak Kambing sebanyak 282.500 ekor dengan produksi Kambing potong dan Kambing bibit sebanyak 100.000 ekor per tahun. Pemasaran ternak Kambing cukup prospektif, baik untuk pasar lokal maupun perdagangan antar pulau. Rata-rata produksi daging beku yang dikirim ke DKI Jakarta sebanyak 20.000 kg pertahun.


Bab IV
Upaya peningkatan produksi ternak potong melelui peningkaran kualitas sumber daya manusia
Meningkatkan kualitas produksi ternak
Isu yang selalu berkembang pada masyarakat bahwa ternak potong lokal selalu kualitasnya lebih jelek daripada yang impor seperti tingkat pertumbuhan rendah kulaitas karkas atau daging jelek dan sebagainya sehingga ketika merebus selalu kalah saing.penilaian ini mungkin ada benarnya jika diperhatikan dari sejarah pemeliharan ternak potong yang masih cara tradisional di indonesia. Akan tetapi isu itu hendaknya jadi tantangan bahwa kualitas produk menjadi sangat penting untuk menjadikan peternakan suatu industri.dengan demikian faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas produksi selayaknya menjadi perhatian seperti genetik, pakan dan menejemen baik sebelum di sembelih ataupun setelah ternak tersebut di sembeleh.
 perbaikan potensi Genetik
Meningkatkan potensi genetik dilakukan dengan:
·         Memasukan gen-gen baru
·         Merancang program breeding sedemikian rupa sesuai dengan harapan sifat produksi yang di inginkan.
Kedua cara ini sudah harang tentu harus diikuti oleh program seleksi yang sangat ketat, pada proses seleksi para pemulia ternak akan mengambil keputusan tentang ternak-ternak mana yang akan dipilih sebagai tetua untuk generasinya berikutnya dan mana yang di pisahkan agar tidak memberikan keturunan.
            Semua aktifitas yang berhubungan dengan perbaikan kelompok atau populasi paa ternak bibit,dapat di kelompokan menjadi dua yaitu:
·         Menetapkan sasarannya
·         Mengembangkan program seleksi yang dimaksudkan untuk mengubah rata-rata populasi atau kelompok kearah sasaran yang di kehendaki.seleksi dapat diangap suatu proses yang terdiri atas dua tahap.
Sungguh seleksi merupakan pekerjaan rumit,karena sifat-sifat kuantitatif yang berkaitan dengan produksi tidaklah berdiri sendiri,namun berkaitan dengan sifat-sifat lainya.korelasi tersebut dapat berupa positif, artinya bila sifat suatu di naikan sifat yang lain ikut naik. Sebaliknya ada sifat-sifat berkorelasi negatif bila suatu sifat di naikan satu sifat yang lain justru menurun.contoh:berat lahir berkorelasi positip dengan berap sapih, berkorelasi positif dengan laju tambahan bobot badan, litter size pada babi berkorelasi negatif degnan bobot lahir, laju  kenaikan bobot setelah sapih berkorelasi negatif dengan tebal lemak punggung.
            Salah satu penyebab menurunya kualitas produksi ternak potong di indonesia adalah sejarah pemeliaraan yang sangat memungkinkan terjadinya perkawinan silang dalam. Silang dalam hampir selalu menurunkan produksi sehinga para pemuliah hendaknya menjaga agar silang dalam pada kelompok atau populasi ternak bibit sekecil mungkin. Namun dalam kenyataan silang dalam sulit dihindari pada populasi terbatas. Efek yang ditimbulkan akibat perkawinan silang  yaitu:
·         Efek fenotip
·         Laju pertumbuhan
·         Kemampuan reproduksi
Untuk mempercepat perubahan genetik kearah sifat-sifat yang diinginkan maka penerapan inseminasi buatan sangat dianjurkan terutama pada sapi.
menagemen (pengelolaan)
            Yang dimaksudkan di sini adalah pengelolahan ternak sebelum pemotongan. Yakni dari pemeliharaan, pengangkutan kerumah potong dan penyembelihan serta pasca penyembelihan setelah berupa karkas atau daging.
            Selama dalam perawatan ternak-ternak harus mendapatkan perawatan yang sesuai dan memadai,tanpa mengalami tekanan yang berlebihan bai karena faktor alam atau faktor buatan. Selanjutnya selama pengangkutan ternak-ternak harus nyaman,karena kesalahan penanganan akan sangat merugikan seperti penurunan bobot badan yang tinggi, patah tulang, lecet malah kematian . oleh karena itu hal-hal yang perlu di lakukan adalah
·         Pilihan jenis alat transportasi yang tepat
·         Berikan makanan dan minuman secukupnya sebelum di angkut
·         Jagalah ternak agaar tetap tenang selama dalam perjalanan
·         Lengkapi ternak dengan dokumen yang berlaku
·         Untuk perjalanan jauh seabiknya ternak diistirahtkan selama beberapa jam ditengah perjalanan untuk melepas lelah dahaga dan lapar
·         Lengkapi alat transportasi dengan sekat pemisah untuk memisahkan perbedaan umur, jenis kelamin dan ukuran tubuh.
·         Hindari pengiriman ternak pada cuaca ekstrim
perbaikan pakan
            Ternak dalam industri ibarat sebua mesin yang mengubah rumput-rumputan atau hijauan atau biji-bijian menjadi produksi peternakan seperti susu, daging dan sebagainya, akan tetapi kualitas output sangat tergantung dari bahan baku yang masuk. Oleh karena itu ada 3 tahap dalam perbaikan pakan yaitu:
·         Tahapan pemilihan bahan
·         Tahapan penyiapan,pengolahan atau peramuan
·         Tahapan penyajian
Sesungguhnya sekecil apapun usaha peternakan tersebut hendaknya tetap berpegang pada prinsip efektivitas dan efesiensi  selain produktivitas.oleh karena itu pembinaan sumber daya manusia sungguh sangat dibuthkan terutama dalam hal- hal sebagai berikut :
1.      Kemampuan memperhatikan kehiduan peternak dan ternak secara layak
2.      Peningkatan daya intelegensia dan selalu mau belajar
3.      Menumbuh kembangkan motifasi yang tinggi
4.      Meningkatkan kemampuan melakukan apresiasi terhadap biaya yang dikeluarkan.
5.      Selalu berusaha meningkatkan pengalaman kerja melalui pengembangan daya inovasi
6.      Meningkatkan kemampuan kewirausahaan dan kemampuan menegerial dalam mengambil keputusan

Dalam rangka pembinaan tersebut langakah- langkah yang dapat ditempuh adalah dengan pendidikan baik formal ataupun non formal. Secara formal yakni belajar pada lembaga- lembaga pendidikan seperti sekolah peternakan, program- program diploma peternakan. Sedangkan non formal, yaitu :
1.      Mengikuti kursus- kursus singkat yang diselenggarakan olehh lembaga- lembaga baik pemerintah maupun swasta.
2.      Menyelenggarakan pelatihan tentang pengelolaan usha dan kewiraan usahaan.
3.      Menyelenggaran pelatihan dengan metode job training.
4.      Magang pada perusahaan peternakan dimana peserta pelatihan belajar dari seseorang yang telah berhasil.
5.      Menyelenggarakan temu karya petai peternak atau sareshan sesama peternak.

Sudah barang tentu tingkat keberhasilan yang dicapai sangat tergantung dari :
1.      Metode yang digunakan
2.      Intelegensi peserta peeternakan serta kesungguhannya
3.      Media yang digunakan
4.      Sarana dan prasarana penunjang
5.      Pembimbing atau tutornya sendiri
Dalam rangka pembinaan tersebut langakah- langkah yang dapat ditempuh adalah dengan pendidikan baik formal ataupun non formal. Secara formal yakni belajar pada lembaga- lembaga pendidikan seperti sekolah peternakan, program- program diploma peternakan. Sedangkan non formal, yaitu :
6.      Mengikuti kursus- kursus singkat yang diselenggarakan olehh lembaga- lembaga baik pemerintah maupun swasta.
7.      Menyelenggarakan pelatihan tentang pengelolaan usha dan kewiraan usahaan.
8.      Menyelenggaran pelatihan dengan metode job training.
9.      Magang pada perusahaan peternakan dimana peserta pelatihan belajar dari seseorang yang telah berhasil.
10.  Menyelenggarakan temu karya petai peternak atau sareshan sesama peternak.

Sudah barang tentu tingkat keberhasilan yang dicapai sangat tergantung dari :
6.      Metode yang digunakan
7.      Intelegensi peserta peeternakan serta kesungguhannya
8.      Media yang digunakan
9.      Sarana dan prasarana penunjang
10.  Pembimbing atau tutornya sendiri


Simpulan
Kebutuhan akan konsumsi daging sapi setiap tahun selau meningkat. Sementara itu pemenuhan akan kebutuhan selau negative, artinya jumlah permintaan lebih tinggi daripada peningkatan sebagai konsumen.
Di Indonesia dan juga di negar-negara berkembang lainya,sebagian besar ternak potong berada dimasyarakat peternak.
faktor yang dapat mempengaruhi kinerja produksi ternak potong, faktor tersebut adalah :
·         Faktor luar, meliputi : pengelolaan (manusia), efek langsung iklim, pakan ternak (manusia), kesehatan dan penyakit hewan (manusia)
·         Faktor dalam, meliputi : genetik, jenis kelamin dan asal usul (pedigree) ternak tersebut.
Sesungguhnya sekecil apapun usaha peternakan tersebut hendaknya tetap berpegang pada prinsip efektivitas dan efesiensi  selain produktivitas.oleh karena itu pembinaan sumber daya manusia sungguh sangat dibuthkan terutama dalam hal- hal sebagai berikut :
7.      Kemampuan memperhatikan kehiduan peternak dan ternak secara layak
8.      Peningkatan daya intelegensia dan selalu mau belajar
9.      Menumbuh kembangkan motifasi yang tinggi
10.  Meningkatkan kemampuan melakukan apresiasi terhadap biaya yang dikeluarkan.
11.  Selalu berusaha meningkatkan pengalaman kerja melalui pengembangan daya inovasi
12.  Meningkatkan kemampuan kewirausahaan dan kemampuan menegerial dalam mengambil keputusan






DAFTAR PUSTAKA

BUKU AJAR TERNAK POTONG
http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_ntrtnhlth_daging.php
http://www.detiknusantara.com/index.
IPB SOCIAL POLITIK CENTER

Sifat kimia dan fisik telur

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Telur adalah salah satu bahan makanan hewani yang dikonsumsi selain daging, ikan dan susu...